KATA PENGANTAR
Puji syukur
penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rat, Taufik dan
Hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga dalam penyusunan dan imajinasi Novel “ Seraut Wajah Senja “ akhirnya selesai.
Wujud
adanya keyakinan memberikan motivasi kita untuk memenuhi sebuah tugas dengan sungguh-sungguh, akan tetapi
menjadi seoRang penulis adalah wujud kita begitu dekat dengan sastra, bukan
hanya sekedar
mendapatkan pengalaman tetapi lebih jauh lagi untuk mengasah kemampuan kita
mengeksplorasi kemampuan berpikir dan berimajinasi serta menuangkannya dalam
bentuk tulisan.
Rasa
syukur kepada Allah yang telah memberikan kemampuan untuk berpikir, dan ucapan terimakasih tak terhingga
penyusun sampaikan kepada Dosen yang telah memberikan bimbingan sepenuh hati kepada kami
sehingga pemahaman tentang Ilmu Pengetahuan bahasa dan sastra Indonesia tidak semata kepada teori saja, tetapi aplikasi atau praktek sebagai seoRang penulis. Sehingga pemikiran bisa berkembang dengan
baik dan selaras dengan tuntutan pembelajaRan Prosa Fiksi dan Drama.
Besar
harapan penyusun Novel ini bisa menjadi koreksi terhadap kemampuan
penyusun dalam menuangkan sebuah imajinasi dalam tulisan. Atas perhatian dan
kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.
Wassalam,
Penyusun
Seraut Wajah Senja
Oleh
Mujtahid
Penerbit
FKIP Bahasa & Sastra
Indonesia Unigal Ciamis
Cetakan ke I Januari 2012
Tentang Penulis
Mujtahid adalah nama pena dari Arizta Mozta. Lahir
pada tanggal 9 Juli 1981di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah
sebagai petani, satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Cerita yang
membuatnya terbiasa dengan kekurangan dan hidup apa adanya menuntunya lebih
arif dalam menjalani hidup. Sejak menyelasaikan
pendidikan tingkat atas, yang dimulai dari bangku Madrasah Ibtidaiyah 02 Salebu
Majenang dilanjutkan ke MTs Pesantren Pembangunan Cigaru Majenang dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Diponegoro Majenang. Keinginannya untuk menggapai
cita-cita sebagai pakar Matematika membuatnnya ingin melanjutkan kuliah disalah
satu perguruan tinggi di Yogyakarta diimbangi dengan pendidikan dipondok
pesantren Assalafiyah, Mlangi Gamping Yogyakarta. Keterbatasan biaya membuatku
harus mengubur mimpi itu dalam-dalam, setelah terjadinya insiden kecelakaan ,
ketika motorku diterjang bis cepat di ring road barat. Akhirnya selama setahun
aku menuntut ilmu dipsantren sambil bekerja di salah satu perusahaan funiture
dari ukiran kayu jati, didaerah Selman Yogyakarta.
Ketika Sekolah, aku selalu aktif diberbagai organisasi seperti ketua
ambalan Pramuka, pengurus OSIS, teater, karate, Ikatan Remaja Masjid (IRM),
Dewan Kerja Ranting Pramuka, Karang Taruna. Dalam berpolitik juga sempat
menjadi pengurus salah satu partai besar sebagai orientasi pemenangan pemilu
tingkat kecamatan, Aktif sebagai penyiar radio baik di sekolah sendiri ataupun
radio swasta, Menjadi tenaga honorer di Madrasah, Menjadi marketing di salah
satu perusahaan pemanas air tenaga matahari di daerah Utan Kayu Selatan,
Jakarta Timur, dan berwiraswasta di
Bandung.
Keinginan untuk membina sebuah keluarga dengan kemampuan sediri, menuntunku
mengambil pilihan sebagai TKI ke Malaysia sebagai Desain ruang dalaman ( Design
Interior Concept) selama dua tahun. Namun nasib berkata lain, mimpi untuk
menjadi orang sukses lebih membuatku memilih untuk melanjutkan kuliah, dengan
modal yang hanya untuk 2 sampai 3 smester aku beranikan diri mendaftar di
Universitas Galuh Ciamis. Selain Matematika, sastra adalah nafasku. Kinginan untuk
mendalami sastra membuatku memilih bahasa dan sastra indonesia sebagai pilihan,
selain itu aku juga menjadi tenaga honorer di MI ma’arif 02 Salebu majenang
hingga saat ini.
Keinginan menjadi seorang penulis benar-benar tersalurkan di kampus Unigal
Ciamis. Lomba pementasan Drama menjadi tonggak pertama untuk mengibarkan
panji-panji seni yang kumiliki. Dengan bekal menjadi pembuat Skenario dan
menjadi sutradara akhirnya Drama yang berjudul Insyaf di daulat menjadi drama terbaik dan sekaligus
sutradara terbaik.
Tidak berhenti sampai disini, karena dalam pembuatan buku puisi yang
diikuti oleh seluruh mahasiswa tingkat dua dari delapan kelas, aku juga ikut
menyumbang satu penghargaan sebagai puisi religi terbaik ke tiga. Aku semakin
mantap berdiri dengan kedua kakiku untuk menapak dunia seni dan sastra tanpa
ragu.
Daftar Isi
1. Kata Pengantar 1
2. Halaman Judul 2
3. Tentang Penulis 3
4. Daftar Isi 4
5. Lukisan Yang terbungkus 5
6. Ada Apa Dengan Dia 8
7. Kenapa Sofia Disini 14
8. Ada Apa Dengan Sofia 20
9. Aku Ada Untuknya 22
10. Cari Pengganti Sofia 26
11. Serba Kebetulan 29
12.Paket Misteri 34
13. Menguak Sebuah Rahasia 37
14. Apakah Sebuah Tanda 40
15. Foto dan Ijazah Itu 50
16. Dibalik Kematiannya 57
17. Anak Yang Terbuang 62
18. Demi Hatinya 67
19. Sakit, Dia Sakit 69
20.
Selamat Jalan Lisa 72
21.Hakikat 76
22.
Akhirnya Terjawab 80
LUKISAN YANG TERBUNGKUS
Sofia Nafisa
wanita cantik berparas lembut laksana bulan purnama menyambut dinginku.
Menyentuh keindahan sang qolbu dalam nuansa yang tak terlukis kata, memberi
sejuta janji manja. Keindahan malam yang terenggut pagi. Dibalik sikapnya yang
menyebalkan hingga setiap orang menganggapnya laksana bunga yang beracun dan berulat.
Namun aku menganggapnya sebuah keindahan yang menyimpan sejuta makna yang
tersirat. Dia tetap mengisi relung jiwa ini dengan cinta
Kami berjalan cepat menuju toilet
begitu mendapat laporan dari satpam kalau Sofia ditemukan pingsan di sana.Di depan toilet
sudah berkerumun beberapa orang pegawai yang berusaha merangsek masuk, mereka melihat
suasana itu layaknya sebuah pemandangan yang membangkitkan keinginan. Melihat kami datang, mereka menyeruak
ke samping untuk
Memberi aku jalan.Di bawah sana, di dekat wastafel,
tergeletak sosok wanita yang mengenakan kaos putih dengan syal berwarna
merah hati. Sofia dalam keadaan taksadarkan diri. Sisa-sisa
muntahan tampak berceceRan, mulai dari wastafelhingga lantai di mana ia
tergeletak. Aku berlutut untuk memeriksa keadaannya.
Nadinya berdenyut lemah saat kusentuh
lehernya yang tertutup
syal itu, lalu aku melepaskanya. Sepertinya dia dalam keadaan pingsan“Panggilkan ambulans! Cepat ” terikku yang memecah kesunyian pada kerumunan pegawai yang berdiri
mematung di depan pintu.
Aku memangku kepala Sofia agar posisinya lebih tinggi, supaya ia
dapatbernapas dengan baik. Seorang wanita setengah baya membawakan minyak angin yang disodorkan
kearahku. Segera
kuoleskan pada bagian bawah hidung dan pelipis Sofia untuk
memberikan rasa dan aroma hangat. Kupijat-pijat juga lengan dankakinya
agaria terjaga. Tetapi, gadis itu tetap tak sadarkan diri. Dahinya benjol dan darahsedikit mengalir
dipelipisnya,
mungkin karena terbentur saat jatuh tadi.
Bos kami datang dengan tiba-tiba di toilet itu.
Membuat kerumunan
pegawai buyar dalam hitungan detik. Aku menengadah ke arahnya. Wajah lelaki yang juga
sepupuku itu kelihatan datar-datar saja memperhatikanbagaimana Sofia terkapar. Seakan-akan ia tidak pernah perduli dengan
kondisi
wanita itu, karena sebelum kejadian itu, Sofia keluar dari ruangannya beberapa saat yang lalu.
Memarahinya habis-habisan, lalu menjatuhkan surat peringatan keempat padanya tanpa ampun.
Ya. Sofia baru saja menerima vonis yang membuat
dirinya harus terlempar dari perusahaan ini, dia dipecat tanpa pesangon. Ini merupakan keputusan
final perusahaan terhadap wanita berusia 27 tahun atas segala prestasi yang di anggap tidak memuaskan selama bekerja di
perusahaan ini.
Sekitar 15 menit kemudian, ambulans
datang. Aku berharap Rino sebgai bos akanmengatakan atau menyatakan sesuatu atas perkara
ini. Tetapi, seperti yangsudah kuduga, ia diam saja memerhatikan bagaimana kami
berjalan tergesa disisi brankar yang membawa Sofia di atasnya. Kami ikut masuk ke dalamambulans
untuk mengurus keperluan Sofia ketika di rumah sakit.
ADA APA DENGAN DIA
Berawal dari
sebuah kejadian yang sama sekali membuatku bertanya-tanya. Kebiasuanku tak
mampu membuka sebuah tabir dari sebuah kenyataan yang tiba-tiba muncul
menyapaku
Aku tidak tahu apakah karena Rino masih menyimpan kekesalan yang begituluar
biasa pada seorang Sofia yang begitu setia mengabdi dan bekerja untuk
perusahannya, dengan segala upaya atas segala kekurangannya, atau karena memang watak aslinya
demikian sehingga Rino tampak begitu tega di mataku. Dia adalah kakakku
yang selama ini kuhormati dan selalu menasehatiku dengan petuah-petuahnya.
Namun saat ini aku seperti melihat sosok yang penuh rekayasa kelembutannya
hilang saat itu juga oleh sebuah kata yang bernama harga diri. Tapi, kalau dipikir-pikir, Sofia memang keterlaluan. Ia telah membuat Rino kecewa karena
menepikan curahan perasaan cintanya, padahal selam ini kak Rino jarang jatuh
cinta. Kekecewaan seorang lelaki yang menganggap dirinya adalah istimewa yang
kemudian tidak dihargai sama sekali.
Oh, ya, ampun... betapa marahnya dia.
Aku bisa mengerti betapamarahnya diasaat ku lihat pada hari Jumat kemarin. Ia sudah sampai di Hotel Borobudur pada pukul 8 malam. Ia terpaksa beRangkat
hari Jumatmalam dari Ciamis karena penerbangan pada Sabtu pagi sudah penuh.Dia ingin
didampingi oleh sosok Sofia. Wanita yang meracuni hatinya dengan sejuta harapan
hampa. padahal
esoknya ia harus mengisi acara presentasi pada sesi kedua di Ciamis.Aku bisa membayangkan kemarahannya. Rino baru saja tiba dari Singapura,belum
sempat pulang ke rumah. Ia sudah harus pergi menyelesaikan
pekerjaannya.
Ia lelah, tapi masih memiliki semangatuntuk menyelesaikan
pekerjaanya, demi sebuah profesionalisme. Tetapi, apa yang diperolehnya adalah
kekacauan.
Sofia adalah sumber kekacauan yang telah
membuat lelaki tampan itu tidak berguna.
Sebenarnya watak asli kak
Rino
tidaklah sekasar itu. Ia lebih menjurus untuk selalu bersikaptegas, serius, dan
memegang tinggi komitmen. Tak heran, di usianya yang baru 27 tahun, ia sudah memiliki semuanya.
Investasi, prestasi, dan prestise. Ia memiliki jaringan perusahaan untuk bisnis properti dan bisnis hotel yang tersebar diseluruh negeri. Serta
sebuah perusahaan pabrik
tebu
warisan ayahnya yang
menjadi cikal bakal perusahaan kami
sekaRang ini. Rino bukanlah tipe oRang yang cukup sabar. Ia menginginkan
semuanyaberjalan dengan cepat, tepat, sesuai kesepakatan bersama. Karena pada
hakekatnya dia sebenarnya orang yang sangat menghargai oRang lain. Ia tidak akansenang, jika ada sesuatu
yang keluar dari komitmen itu. Lebih-lebih, jika tidakbisa memberikan alasan
yang masuk akal, dan Sofia sudah melewati batas kesabarannya. Bukan sekali ini Rino sudahdibuat keki oleh wanita itu. Tiga
bulan lalu, ia hampir gagal menggelarpameRan bisnis properti di Malang karena tidak mengantongi
izin dari pihakpemdasetempat. Padahal, Rino sudah menandatangani proposalnya
tiga bulansebelumnya. Setelah diselidiki, ternyata file itu masih tersimpan di
laci meja Sofia, tertumpuk berkas-berkas lain yang tidak berguna.Kami juga
pernah kena denda besar dalam perpajakan karena terlambat setor. Pangkal masalahnya, berkas itu tidak sampai ke
tangan bagian akunting untukdiserahkan ke kantor pelayanan pajak. Usut punya usut, Sofia menghilangkannya. Ia tidakingat di mana
terakhir kali ia meletakkan berkas penting itu. Yang jelas, ketika kamibantu
mencarinya, amplop itu tidak pernah ada. Jadi, terpaksa kami lembur
untuk mengerjakan sekali lagi. Dan kena
denda, tentunya. masih ada beberapa kesalahan yang membuatnya menjadi makin
parah didepan kami. Sofia kerap menghilang di antara jam kerjanya. Jika melewati hari
libur panjang, maka ia akan menambah
dua hari ekstra berikutnya dengan alasan tidak mendapat tiket. Jika Rino marah, dengan mudah ia akan bilang maaf dan maaf.
Rino pun tidak bisa berbuat apa-apa karena memang dia menaruh hati pada wanita
itu, atas dasar apa cinta itu tumbuh, sampai saat ini Rinopun tidak
memahaminya.
Akibat perangainya itu menjadikan hambatan
besar bagi kami rekan sekerjanya.Terutama jika ada hal-hal yang membutuhkan
hubungannya dengan Rino yangtidak selalu berada di tempat. Jika Sofia sedang ’kumat’ begitu, maka akulahyang
akan dijadikan sasaran mereka untuk menghubungkan mereka dengan Rino dan kedekatanku
dengan Sofia.
Setiap mengerjakan pekerjaannya yang amburadul,
tentunya.
Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan
Sofia mampu bertahan di sinisedangkan hampir semua rekan kerjanya sudah tidak
welcome terhadap kehadirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dihadapkan pada tekananpsikologis
yang begitu kuat seperti itu masih bisa melenggang
tenang mengenakan baju seragam kerja kebanggaan: blus putih dengan kerah pink, rok hitam, dan blazer-blazer
yang modis. Dengan make up yang tidak terlalu menor namun wanita itu terlihat
sangat anggun hingga membuat bosnya jatuh cinta. Aku sendiri tak munafik
menaruh hati padanya.
Sofia tampak percaya diri sekali. Masalah antara dirinya dengan kantor ini seakan tidak
mengganggu moodnya untuk bekerja. Kalau bukan bebal, maka pastilah ia bermental baja. Tetapi aku
melihatnya sebagai wanita yang istimewa, walaupun kadang sikap dan sifatnya menyebalkan,
tetapi sebenarnya itu semuanya kerena keluguannya.
Kami menunggu perawatan Sofia cukup
lama sampai ia sadar sekitar pukul setengah tiga sore. Gadis itu demikian lemah saat membuka matanya
yang tatapannya kelihatan kosongmemandang ke arah langit-langit.
Sofia diam seribu bahasa seakan-akan mulutnya telahterkunci
rapat. Aku menghela napas hampir bersamaan dengan Bu Marta. Wanita yang
begitu menyayangi Sofia seperti anaknya sendiri. Dia bekerja diperusahaan ini
sejak Rino dan aku masih kecil, makanya Rino begitu hormat padanya Ia pasti sedang mengalami shock yang
luar biasa.Akhirnya aku dan Bu Marta berbagi tugas. Aku ke rumah Sofia untuk
mengambilbeberapa helai pakaian dan barang-barang pribadi yang dibutuhkannya,
sementaraBu Martasetia menunggui wanita itu sampai aku kembali.
“Apa pun yang bisa menghubungkan kita
dengan keluarganya harus kautemukan,“ itu pesan Bu Marta padaku.
Aku mengerti, oleh sebab itu aku harus
bergegas menuju apartemen tempatSofia tinggal. Memang agak mengherankan kalau
sekretaris berprestasi kurang baik seperti Sofia mampu tinggal pada sebuah
apartemen mewah sekelas Apartemen High Class. Ini semua Rino yang mengaturnya. Yah ,
memang ini semua karena perasaan dan kedekatannya dengan Bu Marta. Sebuah catatan masa lalu yang mungkin
telah tercipta diantara Bu Marta, Pak Anton atau siapa saja yang terlibat dalam
keluarga ini. Namun aku dan kak Rino tak berani membuka sebuah pertanyaan untuk
mengungkap sebuah kebenaRan.
KENAPA SOFIA DI
SINI ?
Sebuah tempat yang
menjadi simbol kemewahan dan ciri orang dikatakan mapan dan mampu. Tempat yang
selam ini memberikan kesaksian kepada aku dan Kak Rino harus berdebat dengan
pendapat sendiri. Ada apa dengan tempat ini. Mengapa sekretaris papah dari dulu
selalu disini, hingga Sofia.
Keajaiban waktu
yang memberikan simbol-simbol peperangan kepada sebuah keyakinan tetap tak
menolong hati ini untuk mengeti. Anggaplah itu tak penting saja.
Sebuah koordinasi
yang tersusun rapi di mana untuk memasuki apartemen itu saja harus melewati barisan pengamanan yang begitu
ketat, karena di apartemen seperti di hotel-hotel bintang lima. Bukannya berburuk sangka. Sebesar apa pun gaji Sofia,
rasanya belum cukup layak untuk tinggal di tempat mewah seperti ini. Sebuah pertanyaan
yang sinis memandang keadaan Sofia. Namun ini sebuah realita, perusahaan ini
yang menanggungya. Seberapa besarpun kebutuhan Sofia.
Apartemen yang ia tinggali mirip dengan hotel. Ada lobi, restoran, children ground dan taman, salon & spa, juga tempat mini market. Langkah kakiku perlahan menuju resepsionis yang sudaht ersenyum padaku saat aku berjalan ke
arahnya. Dengan ramah ia memperkenalkan dirinya, lalu menanyakan
maksud kedatanganku.
Sudah pasti aku berterus terang mengharapkan bantuan mereka agar
dapat masuk ke dalam apartemen Sofia. Karena ketidak laziman ini, aku harus menjalani beberapa prosedur ruwet yang
akhirnya mempertemukan aku dengan manajer pengelola yang bertugas saat itu.
Aku harus mengulang kembali ceritaku sebelum akhirnya diizinkan
membuka pintu apartemen Sofia didampingi manajer pengelola itu dan
seorang anggota sekuriti yang berbadan
kekar dengan kumis tebal dan berjalan tegap dan menampilkan karakter galak,
entah dibuat-buat atau memang sudah aturan perusahaan.
“Bu Sofia sakit apa, Pak?” Pak Hardi, manajer yang mengawalku, bertanyaketika
kami berada di dalam lift.
“Kurang tahu, pak.Karena masih diobservasi. Hasil
laboratoriumnya juga belumkeluar. Saya diminta mencari keluarganya, Pak.”jawabku
“Oh, begitu. Mungkin agak susah juga
bagi anda,” di luar dugaan, Pak Hardimengatakan
sesuatu yang mengejutkanku.
“Mengapa demikian?”ekspresiku agak
bingung.
“Selama tinggal di sini, kami hampir
tidak pernah melihat Bu Sofia kedatangan tamu. Beliau juga menutup diri dengan para penghuni apartemenlainnya.
Sama seperti teman-temannya yang terdahulu.”
“Teman-temannya terdahulu?” aku
mengerutkan alis, lebih bingung lagi dengan yang diucapkan.
Pak Hardi tersenyum sopan seraya mengangguk.
“Para sekretaris almarhum Pak Anton memang tinggal di sini. Ada tiga
seingat saya. Bu Lisa, Bu Vera, dan terakhir Bu Sofia.”
Oh, ya, ampun… aku pura-pura tidak tahu. Maklum saja karena
aku anak angkat, bukan anak kandung. Memang ada rumor miring mengenai kehidupan ayah. Wajahnya memang tampan,
bertubuh tinggi tegap. Ia adalah mantan pensiunan tentara yang sukses membuka usaha pabrik tebu. Penampilannya flamboyan,dan suka
sekali pada wanita -wanita cantik dan bertubuh seksi. Sangat berbeda dengan kak Rino yang keras, tegas, dan fokus pada
segala hal yangmembuatnyasukses di usia yang belum mencapai tiga puluh tahun.
Aku tidak tahu mengapa mereka berdua
begitu berbeda. Kak Rino sangatbersemangat, sedang ayahnya angin-anginan. Rino
penganut klan jomblo,ayahnya adalah seoRang casanova. Atau mungkin karena Rino
anak angkat Pak Anton? Tapi, anehnya, kalau memang Rino seorang anak angkat, mengapa wajah dan perawakannya demikian mirip
dengan Pak Anton? Kecuali kulit Rino lebih putih dibanding kan ayah yang
mantan tentara itu. Memang ayah tidak
mempunyai anak kandung, tetapi Rino dan aku sudah dianggapnya sebagai anak
sendiri oelh ayah.
Pintu terbuka. Aroma pengap langsung
menyerbu keluar menandakan ruanganini kurang mendapatkan udara segar, atau jarang
dibersihkan. Pak Hardi danaku masuk ke dalam, sedangkan petugas sekuriti itu
berdiri di ambang pintu.
Aku berjalan ragu-ragu sambil
memperhatikan keadaan yang menurutku tidaknyaman karena keadaan cukup gelap.
Pak Hardi menyalakan lampu. Sekarang aku bisa melihat jelas pada apartemen yang
ditata minimalis ini. Sayangnya,berantakan sekali. Piring dan gelas kotor
tergeletak asal saja di atas meja, rakteve, dan meja telepon. Tisu bekas
berserakan.
Pak Hardi kemudian mengarahkan aku ke
ruang tidur Sofia. Ternyata sama saja berantakannya, dan terus terang
membuatku malu memandang dia sebagai seorang wanita. ranjangnya acak-acakan, bantalnya
digulung oleh bed cover yang menjuntai kebawah Ranjang. Baju-baju kotornya jugabergantungan
di kapstok. Handuk,sandal jepit, dan kimononya berserakan di atas lantai.
“Silakan, Pak, saya menunggu di sini saja,“ dengan
sopan Pak Hardi keluar mempersilahkan aku masuk.
Mungkin ia tidak mau aku terlihat kikuk
dengan keadaan yang porak- poRandaitu. Aku berterima kasih padanya.
Kupungut handuk dan kimononya, lalu
kuletakkan pada sebuah emberdi kamarmandinya yang terlihat kotor dan berantakan. Demikian juga dengan baju dalamnya
yang tergantung pada shower,kupindahkan ke dalam ember yang sama. Kubuka lemari
bajunya yang sama
berantakan isinya. Sungguh mengherankan, ada seseorang yangsedemikianjorok.padahal
penampilannya terlihat modis dan anggun, apa yang terjadi dengan Sofia
sebenarnya, banyak pikiran dan prasangka yang berkecamuk dibenakku.
Kuambil pakaian dan baju dalam
seperlunya. Lalu kutarik sebuah travel bagdari atas lemari yang segera saja
menebarkan debu yang membuatku terbatukbatuk. Kotor sekali
tempat ini. Aku terpeleset jatuh bersama travel bag itu beberapa berkas yang langsung
bertebaran
di atas lantai.
“Pak, tidak apa-apa?“ Pak Hardi melongok. Ia
lalu tersenyum canggungmelihatku mengibas-ngibaskan tanganku ke udara untuk
menghalau debu.Dengan penuh inisiatif, lelaki itu meraih remote dariatas meja
rias danmenyalakan AC untuk menetralkan hawa yang kuRang nyaman ini.
Pak Hardi kemudian menyodorkan sebuah
blister obat yang sudah kosong yangdiambilnya dari meja rias. Exelon, itu yang
terbaca di antara kepingan bungkus aluminium yang bisa kubaca.
“BaRangkali diperlukan, Pak” ujarnya, sopan.
Berkas-berkas yang berserakan itu juga
kumasukkan kembali dalam sebuah mapyang ikut terjatuh, lalu kujadikan satu ke
dalam travel bag. Setelah semuanyakupandang cukup, aku dan Pak Hardi sama-sama
menandatangani suratpernyataan serah terima barang dari apartemen Sofia. Sayangnya,
aku tidak menemukan laptop atau PC yang dapat kuambil datanya.
ADA APA DENGAN
SOFIA
Pelangi begitu
indah, seasaat setelah hujan mereda dia mengintip dibalik awan dengan
menawarkan aneka warna yang memercikan kekaguman kepada keindahan yang dicipta
Sang Kuasa. Sementara awan putih terus berkonvoi. Berjalan begitu kompak dari
arah barat ke timur, yah bukankah bumi ini yang berputar pada porosnya menurut
ahli geologi.
Ketika sore itu aku tiba kembali ke
rumah sakit, aku dikejutkan oleh lapoRan Bu Marta mengenai keadaan Sofia saat
kutinggal tadi. Katanya, Sofia berteriakt-eriak histeris seperti oRang gila. Sofia tidak
dapat mengendalikan dirinya sampai ia harus dipegangi banyak oRang.
Ia tidak mengenali Bu Marta yangberada di dekatnya. Bahkan, ia tidak mengenali
dirinya sendiri.
“Dia terus meminta cermin dan
mengatakan ingin kembali... ingin kembali.
Tidak tahu mau kembali ke mana. Sudah
kayak gini, Ran,“ cerita Bu Marta,sambil menyilangkan telunjuknya di dahi untuk
memberitahuku.
“Aku merasa tidak enak seketika. Apakah
ia ingin kembali bekerja? Vonis Rino atasnya merupakan pukulan telak yang
bisa menghabisi jaminan masa depannya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sekretaris dengan kategori lemot begitu, Sofia memiliki gaji besar.
Hampir setara dengan gaji manajer senior!” ucapku membuat Bu Marta bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana, Bu?“ tanyaku tidak enak
melihatnya seperti mau kabur begitu.
Wanita berusia lima puluh tahun itu
tertawa. Ia mengatakan harus kembali kekantor karena Rino mendesak segera ke kantor. Bu Marta juga mengatakan, Rino akan menyusul ke rumah
sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.
AKU ADA UNTUKNYA
Semuanya seperti
tak perduli melihat keadaan Sofia. Instingku yang selalu menuntunku untuk
selalu dekat dengannya dan menjaganya membuat aku seakan menjadi bagian apa
yang dirasa olehnya. Lalu aku ditinggal sendirian.
Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Sofia. Mengatur
bajunya di loker kecil di bawah mejanya,menebus beberapa obat di apotek dan beberapa
administrasi lainnya yangcukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini
sampai akhirnyasemuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk
beristirahat pada sebuahkursi di depan kamar Sofia.
Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma
parfum yang amat kukenal
menebar harum di sekitarku. Rino berjalan
mendekat dengan gayanya yangkhas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia
tidak mengenakan parfumnya, pasti aku tidak akan menyadari kehadiRannya. Tanpa
bicara,
diletakkannya sekotak makanan yang dari
etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan
menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.
Ya, ampun... aku baru sadar betapa
perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka
dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya
benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy...
oh, yummy... yummy!
Saat aku tengah asyik makan, Rino sudah
balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus Alpuket dengan float es krim vanilla. Enak,
sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau aku menikmatinya
disebuah taman bunga dengan Sofia. Rino ada di dekat wanita muda itu. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku.
Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya. Selain itu aku
harus bisa menutup dalam-dalam perasaanku atas Sofia.
Ia memandangku dengan ekspresi datar
saja.
“Makanlah. Jangan berhenti karena aku
ada di sini,“ katanya dengan nada rendah kepada Sofia sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak
nyaman memperhatikan beef teriyaki dipangkuanku yang masih separuh itu. Aroma
minyak wijen dan saus Kikkoman yang bergelimang di antara irisan
daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!
“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?“ kata kak Rino
kepada Sofia.
Wanita itu tetap
diam seribu bahasa, sepertinya muak melihat lelaki tampan dihadapannya.
Makin tidak menyenangkan saja. Separuh
menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.
“Tidak juga... perutku masih
beradaptasi setelah sekian lama kosong,“
jawabku. Betapa mencekamnya keadaan
ini. Padahal dia adalah Kak Rino. Lelaki yang kuanggap seperti kakak kandungku
sendiri.
“Puasa?“ tanya kak Rino
Aku mengangguk.
“Kau persis Almarhum ibu,“ ia menyebut almarhumah ibu tanpa ekspresi.
Rasanya acara makanku memang harus
selesai. Seleraku lenyap seketika. Apa karena kami mencintai cewe yang
sama. Cewe cantik pembuat masalah.
“Aku tidak habis pikir. Bagaimana
mungkin Sofia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?“ Rino bersandar pada
bangku, lalu menoleh padaku, “Kaupercaya itu?“ tambahnya
Mengapa tidak? Dalam batinku
menjawab.
Seseoang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Sofia, tidak hanya bisa
menjadi histeris karena stres. Mungkin ia bisa juga nekat bunuh diri.
“Keluarganya sudah diberi tahu?“ Rino
kembali bertanya. Aku cepat-cepat menggeleng.
Kuceritakan pengalamanku tadi siang
bersama Pak Hardi dan menjelaskan keadaan Sofia selama bermukim di
apartemen itu. Rino mengerutkan alisnya.
“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku
tidak mau diganggu oleh keadaan wanita itu lagi. Tapi aku berharap
Sofia bisa berubah. Aku muak dengan semua ini” ucapnya lagi
Aku menatapnya takjub. Betapa tidak
berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah kakaku!
CARI PENGGANTI
SOFIA
“Sofia sedang sakit…,” aku hanya
berusaha menyindirnya karena Sofia bias seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman
sikapnya.
“Kita harus bisa segera kembali fokus
ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Marta mencari penggantinya dalam minggu ini.
Atau….”
“Atau apa kak?”
tanyaku
“Kau carikan pengganti Sofia.”
Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku
atau Bu Marta, apabila terjadi sesuatu pada Sofia. Setelah itu, aku
menyusul Rino yang sudah berjalan lebihdulu. Itulah Rino, selalu bergerak
cepat. Memberikan kesan terburu-buru.
Kami diam sepanjang perjalanan. Aku
memang selalu merasa kurang nyaman,bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan
dalam diriku. Sebab, disaat yang sama, ia adalah kakaku. Rino sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi
saudara dan kapan menjadi patner kerja. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya
bos di mana pun ia berada.
Sehingga, aku merasa ada jarak antara
dirinya dengan kami semua.
“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama
untuk bisa didatangkan, Ran,“ ia menatapku dengan pandangan menusuk.
“Tapi... saya harus mengurus gaji
staf,“ aku memberi alasan.
“Bu Marta yang akan menanganinya.“
Sungguh keterlaluan. Ia sudah
merencanakannya dengan baik sejak awal. Akumenjadi sebal sekali padanya. Aku
hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin
segera keluar dari urusan Sofia yang kinidibebankan padaku.
Kami tiba di depan rumahku pada pukul
21.30. Mbok Nah, pembantuku, segera berdiri dari duduknya di teras. Ia sedang menungguku. Hanya Mbok Nah yang tinggal bersama kami sekarang setelah Mama dan papah tiada. Sedang kedua saudara kandungku hidup dengan keluarganya masing-masing di
Jakarta dan Makassar.
Rino menyapa Mbok Nah dengan ramah saat
kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang
sudah akrab dengan wanita tua yangsudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan
tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem
untuknya. Menurut ibuku dulu,Rino kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi
lebih baik setelah diberi jamukunir asem buatan Mbok Nah.
“Rino memandang berkeliling memperhatikan
betapa sepinya rumah ini “ ucap kak Rino memandangi keadaan rumah besar yang
kami tinggali.
Aku tidak membalas komentarnya itu.
Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong
kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Rino tersenyum
kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh.
Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada
setiap orang.
SERBA KEBETULAN
Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Sofia
yang kudapat dari tasnya.
Sementara menunggu, aku mulai
menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengeceke-mail. Karena tidak ada yang
penting, aku kemudian mengeluarkan kertaskertasyang dijejalkan begitu saja ke
dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas
yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah
berumur lama. Aku segera memilahnya.Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok
institusi, dua lembar darikelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing
statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda
terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah
hasil sebuah laboratorium terkenal di Ciamis, dan yang lainnya adalah
fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di Rumah Sakit di
Bandung.
Aku bisa membaca tulisan Exelon disitu, sama dengan bekas blister obat yang
diberikan Pak Hardi. Resep itu dibuat beberapa tahun yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas
lain yang sudah kusam kekuningan.
Semuanya adalah salinan ijazah dari
Akademi Sekretaris dan Manajemen dan Komputer Purwokerto dalam kurung AECOM. Menilik dari
tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan!
Yang lebih hebatl agi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan
ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Lisa Subyastuti
dan Vera Radhanti. Nama-nama mantan sekretaris Ayah dulu. Mereka semua disebutkan oleh Pak Hardi
tadi siang. Dan mereka berasal dari sekolah yang sama. Betapa
menakjubkannya, bahwa keduanya bisa berada ditempat yang sama dalam kurun waktu
berbeda.
Rasa penasaran membuatku menjelajah di Google, menulis
nama akademi yang dimaksud untuk mencari tahu. Sambil menunggu,
aku memperhatikan dualembar foto. Yang satu adalah foto lama dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku mendadak ingat, foto yang sama juga
tergantung di ruang kerja Pak Anton.Sungguh sebuah kebetulan berikutnya.Sedang
yang lainnya adalah juga sebuah foto lama. Foto sekelompok wanitayang tengah
berpose pada sebuah lesehan makan di kaki lima. Kuperkirakan tempat itu berada di Yogya juga. Pada
spanduk yang menempel di belakang tempat makan kaki lima itu tertulis: ’Goedeg Toegoe Jogja’.
Tetapi, buat apa Sofia mengumpulkan
foto-foto dan salinan ijazah lama?
Kuangkat kepalaku karena leherku
menjadi demikian kaku. Kembali ke monitor dan aku kecewa. Pencarian atas nama
akademi itu tidak berhasil. Kuketik nama AECOM untuk dijelajah. Kembali gagal.
Aku makin penasaran. Apakah sekolahitu pernah ada atau tidak, ya? Kuketik lagi
ternyata tidak keluar dan yang muncul nama sebuah yayasan sosial yang setelah kutelusuri ternyata milik perkumpulan
penyantunan anak yatim piatu di Prancis.
Kok, jadi butek begini, ya? Kalau aku
gagal mendapatkan sebuah petunjuk,maka Sofia akan mengacau pikiranku lebih lama lagi. Kuhirup teh manisku
yang sudah mulai dingin. Mbok Nah kedengaran mendengkur halus dari atas dipan.
Siaran tivi masih menyala dan kubiarkan saja. Jika
kumatikan, maka ia akan segera terjaga. Aku sudah tahu kebiasaannya
itu.Satu-satunya harapanku adalah pada ponselnya. Dari jenis smartphone yangcukup
andal dan yang pasti mahal harganya. Beruntung pin pembukanya standar saja, 1274, jadi aku bisa masuk
ke dalamnya. Yang lebih mengherankan, aku hanya menemukan lima nama
dalam phonebook-nya. Untukseorang sekretaris yang seharusnya memiliki jaringan luas, Sofia
benar-benar payah. Kelima nama itu adalah nomor Pak Hardi, Sisca, Rino, Bu Marta,dan aku. Aneh juga,
seorang sekretaris seperti Sofia hanya memilki lima orang yang patut dicatatnya.Lelah
menjelajah dan menerka-nerka menyadarkan aku pada waktu yang sudah sangat larut, pukul 02.25. Akhirnya kuputuskan untuk menulis
e-mail pada Ardi, sales manager di wilayah Purwokerto dan
Cilacap,
untuk melacak keberadaan sekolah itu sebelum aku tidur. Aku
berharap, Ardi bisa memberikan jawaban dengan segera.
Wajah Bu Marta tidak kelihatan heran melihatku sudah duduk di mejaku padapukul
7.30 keesokan harinya. Aku sendiri sudah berada di sana sejak setengah jam lalu. Terus terang, semalaman aku tidak bisa tidur
dengan nyenyak karenapenasaran. Aku perlu datang pagi ke kantor hanya untuk meminta izin
Bu Marta membuka file para sekretaris.
Dengan cepat aku memeriksa
berkas-berkas yang tersusun rapi berdasarkan abjad yang segera kucabut dari
tempatnya. Afisya, Tere,
Lisa, Vera, dan Sofia sendiri. Kelimanya kubawa ke ruanganku
agar bisa menghirup udara bersih dari AC berteknologi nano itu.
Tanpa menghiraukan Bu Marta, aku mulai
membuka berkas-berkas itu satu persatu. Dimulai dari Lisa Subyastuti. Lahir di
Yogya, 5 Juni 1969. LulusAECOM tahun 1989. Bergabung dengan perusahaan sejak
1989 – 1994. Keluar atas permintaan sendiri. Alamat
terakhir di Apartemen Cibodas Indah Ciamis.Theresia Susanti, lahir di Tabing,
15 April 1970. Lulusan YASMI Medan tahun1986. Bergabung dengan perusahaan
sejak tahun 1994 – 1999. Mengundurkandiri setelah mengalami kecelakaan pada September
1999. Alamat terakhir di Perumahan Griya Kencana D/16 Ciamis. Kemudian Vera Radhanti. Lahir di Yogya,
5 Juni 1971. Lulusan AECOM tahun 1991. Bergabung dengan perusahaan sejak 1999 – 2004. Ia mengundurkan diri untuk menikah. Alamat terakhir yang
tercatat, Apartemen Cibodas Indah Ciamis.
Yang keempat adalah Afisya Sanjaya,
lahir di Malang 8 Agustus 1973. Lulusan Lembaga Pendidikan Profesi Jakarta ( LP2S ). Bergabung sejak 2004 – 2006.
Kariernya berakhir saat ia meninggal
akibat keracunan gas karbondioksida darimobilnya sendiri. Ada kliping
obituarinya pada sebuah koran tanggal 30 Maret 2006. Ia dikremasikan di sebuah krematorium
di daerah Malang. Tempat kelahirannya.
Terakhir, Sofia Sumarno. Lahir di
Yogya, 5 Juni 1976. Lulusan AECOM tahun1999. Bergabung sejak 2006 sampai sekarang. Apartemen Cibodas Indah menjadi tempat tinggalnya dan tidak ada keterangan lain.
Kuluruskan punggungku sambil memikirkan
berbagai kebetulan yang kudapatidari data di tanganku ini. Bahwa Lisa,dan Veradan
Sofia tinggal di apartemen yang sama, bersekolah di tempat yang
sama dan Lisa dan Vera memiliki tanggal lahir yang sama, yaitu 5 Juni. Hanya saja
berbeda tahun. Hebat sekali. Jadi, mereka berada dalam naungan bintang yang sama,
dan mungkin juga memiliki sifat atau karakter yang sama pula. Betapa
sebuah kebetulan!
PAKET MISTERI
Bunyi nada panggil dari ponsel
mengejutkan kami berdua. Bu Marta menggeleng setelah memeriksa ponselnya. Aku pun
tidak merasa bunyi itu berasal dariponselku karena nadanya berbeda. Lalu dari
ponsel siapa karena kami hanyaberdua di ruangan ini? Aku jadi ingat. Ponsel Sofia!
Aku membawanya di dalam Handisel!
Buru-buru kubuka komunikatornya dan berharap
ada sebuah informasi baruy ang dapat kuperoleh. Ternyata sebuah SMS
masuk dari nomor yang tidakt erdaftar. Isi pesannya sederhana:Paket
sudah dikirim. Harga TO baru 15 juta.
Aku terdiam dan mulai berpikir. Paket
apa dan dari siapa? TO itu apa? Target operasi? Kututup ponsel itu dan kembali
ke berkas lima sekretaris yang anehini.
Aku mengamati Bu Marta yang masih
memproses data gaji pegawai.
“Bu, maaf mengganggu sebentar.“ ucapku
“Nggak apa-apa, mau tanya apa, Ran?“ ia
menjawabku tanpa menoleh.
Kemudian aku menanyakan seputar
keanehan dua sekretaris Ayah yang berasal dari sekolah yang sama, dan
tinggal di tempat yang sama. Kecuali Tere dan Afisya. Bu Marta mengatakan, mereka
berdua memang direkomendasikan Pak Anton. Bahkan tinggal di apartemen
milik pribadinya.
“Saya memeriksa di internet semalaman, AECOM
-sekolah para sekretaris itu tidak ada datanya.“
Baru sekarang kulihat perubahan dari Bu Marta.
wanita itu duduk menegak dikursinya untuk beberapa saat lamanya seperti sedang
memikirkan sesuatu.
Dulu ia adalah staf personalia yang
terpaksa mengerjakan tugas-tugas sekretaris bagi Pak Anton untuk sekian tahun
lamanya. Itu dikarenakan Lisa dan Vera tidak pernah melakukan tugasnya dengan baik.
Mereka lebih sibuk mencari perhatian
bos yang flamboyan itu. Hanya Tere dan Afisya yang benar-benar menjalankan tugasnya
dengan benar. Sayangnya,mereka berakhir dengan cara menyedihkan..
“Sekalipun Pak Anton tahu betapa
menyebalkannya mereka, beliau tidak pernah menegur keduanya.” Gerutuannya membuatku tercengang.
”Sebenarnya pak Rino ingin menggantikan Sofia. Pak Rino sudah
tidak tahan bekerja dengannya, tidak seperti ayahnya.”
Aku merasa tidak enak dengan keadaan ini.
“Mengenai akademi itu, Bu Marta tidak
pernah memeriksanya?“
Wanita itu menggeleng, ia kembali
memunggungiku. Mengerjakan proses cetak slip gaji untuk seratus orang karyawan di sini. Aku menghela
napas.
MENGUAK SEBUAH
RAHASIA
Sebuah kejadian
yang misteri jika setiap sekretaris selain Lisa dan Vera keluar dari perusahaan
ini dengna cara tragis. Dalam benak setiap orang yang bekerja lama di
perusahaan ini pasti menimbulkan sejuta tanya, namun apa kepentingan buat
mereka, yang penting gaji lancar dan dapur ngebul, itu sudah membuat mereka
leluasa dan nyaman bertahan di perusahaan ini.
Aku berusaha
membuka tabir itu dengan mendatangi Tere,
“ Mba Tere mengalami kecelakaan apa?“ Tanyaku kepada
mantan sekretaris ayah itu
“Aku ditabrak mobil saat keluar dari kantor
untuk makan siang. Penabrak nya tidak pernah ditemukan. Kabarnya ia
lumpuh sekarang.“ Ada kegetiran dalam suaranya yang membuatnya terdiam.
“ Maaf sudah
mengganggu “ aku pergi dan berpamitan dari rumahnya.
Kalau memang demikian adanya, maka aku
memang tidak perlu menemuinya.Kehadiranku bisa jadi melukai perasaannya
karena harus mengingat pengalaman terburuk dalam hidupnya.
Makin ruwet saja masalah kecelakaan yang terjadi saat itu yang menimpanya.
Sebaiknya aku segera keluar dari tempat
ini. Aku khawatir bertemu dengan Rino yang akan menanyakan progres
pekerjaanku.Pak Handi, sopir perusahaan kami, sudah siap
mengantarku ke rumah sakit.
Rupanya ia mendapat perintah langsung
dari Rino untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Kembali aku
mendengar nada SMS dari ponsel Sofia. Aku membukanya, dari nomor yang
tadi.
Mana profil TO baru? Cepat balas.
Aq byk order.
Aku penasaran dengan orang ini, karena begitu bersemangat
mengejar Sofia. Ia pasti memiliki sesuatu yang bisa berguna. Aku minta berhenti
pada sebuahwartel saat kami melintas di daerah Praban. Aku ingin tahu, dengan
siapasebenarnya Sofia berhubungan.Aku berdoa semoga ponsel itu tidak dimatikan.
Sebab, aku tahu beberapa kasusyang berhubungan dengan kerahasiaan selalu
menonaktifkan ponsel mereka agar tidak cepat terlacak. Tapi
untungnya tidak. Aku mendengar nada tunggu berupa kicauan burung yang lumayan
merdu sebelum akhirnya diangkat oleh seorang lelaki bersuara cempreng.
“Selamat siang, Pak. Saya saudaranya Bu
Sofia….“ mengawali
telepon.
“Salah sambung!” sebuah jawaban yang
ketus terdengar, kemudian telepon ditutup dengan kasar. Aku tidak
menyerah, kutelepon lagi nomor itu.
“Maaf, tadi terputus. Aplikasinya mau
dikirim ke Ciamis, Pak atau…?” dengan asal aku menyebutkan
alamat yang segera dipotong orang itu.
“Pak, dengar, ya… saya ini Heriandi, teman Bu Sofia!”
Jantungku deg-degan. Heriandi. Nama yang
sama tertera pada tiga tandaterima Sofia. Aku langsung menutup telepon itu.
Buru-buru tutup telepon. Aku kembali ke mobil dengan semangat yang naik karena setidaknya
ada seorang yang ‘nyata’ dalam masalahini.
Pertanyaannya adalah apa yang dikerjakan lelaki itu untuk Sofia sehingga ia mematok upah begitu tinggi?
APAKAH SEBUAH TANDA
Dengan sedikit
gontai aku berjalan setelah membuka pintu mobilku yang parkir di halaman rumah
sakit.
Sampainya di kamar Sofia, aku masih harus menunggu Dokter Astria yang masih melakukan visit pasien. Aku mengunjungi
Sofia di kamarnya diantar oleh seorang perawat. Aku melihatnya duduk di
atas tempat tidur. Ia tengah berkaca pada sebuah cermin berbingkai
plastik murahan yang mungkin dipinjamkan oleh salah seorang perawat.
Sofia menyentuh pipi, hidung, dan
bibirnya. Ia memiringkan kepalanya ke kiridan kanan seperti sedang
mempertimbangkan sesuatu. Sorot matanya kosongke arah cermin, seakan-akan ia
tidak melihat bayangan siapa pun di sana. Rambutnya yang kusut masai makin
memperparah penampilannya yang menurutku tiba-tiba menjadi sangat
aneh. Pipinya kelihatan menggantung pada wajahnya yang tirus. Tubuhnya juga
begitu kurus seperti penderita kurang gizi.
“Halo, Sof,” kusapa dirinyadengan lembut.
Sofia tidak menanggapiku. Ia kembali memiringkan
kepalanya ke kiri dan kanan. Sesekali menyentuh kening dan
pipinya dengan telunjuknya yang kurus.
“Sofia, ini aku, Ran. Kau ingat?“
Ia kembali tidak menghiraukanku.
Perawat yang datang bersamaku mengajakku keluar dari sana dan memberikan keterangan bahwa Sofia sudah berkelakuan begitu sejak tadi malam. Mereka
memperkirakan ia menderita depresi berat.
Aduh, mengapa menjadi makin rumit saja masalah
ini? Bagaimana jika akutidak berhasil menemukan keluarganya?
Dokter Astria datang setengah jam kemudian. Aku
diajak ke ruangannya untuk membicarakan masalah kesehatan Sofia. Dokter
itu menyilakanku duduk dihadapannya, sementara ia membuka-buka file di
hadapannya, mencari data Sofia. Aku memperhatikan beberapa
sertifikat digantung dengan rapi pada dinding berlapis wallpaper bermotif
bunga warna kuning dan merah muda dengan dasar hijau muda.
“Sudah bisa menemukan keluarganya?“
itulah yang pertama kali ditanyakannya padaku. Membuat perutku sebah saja. Aku
menggeleng.Dokter Astria mengetukkan jarinya pada kaca meja dengan cepat.
“Saya harus menyampaikan kalau kondisi
Ibu Sofia tidaklah baik. Hasil labnya buruk. Gula darahnya lebih dari empat
ratus. SGOT-nya tinggi dan saya khawatir paru-parunya juga kena, jadi
tadi pagi kami rontgen. Ada indikasi pembengkakan?“
Kugelengkan kepalaku. Pusing oleh
kenyataan kalau Sofia begitu bermasalah.
Aku mengeluarkan blister obat dan
fotokopi resep dari dalam tasku, lalu
menyerahkan kepada Dokter Astria. Wanita itu mengerutkan alisnya.
“Apa ada yang salah, Dok?“ aku merasa
jauh dari harapan.
“Dari mana kau peroleh ini?“
Kuceritakan dengan singkat penemuanku
kemarin di kamar Sofia.
“Resep ini benar, dokter yang
mengeluarkan juga benar. Tetapi tidak boleh menebusnya dengan menggunakan salinan
resep, apalagi fotokopi.”
Bagaimana aku tahu kalau Sofia sudah
begitu menyalahi aturan? Dokter Astria tersenyum. Mungkin ia bisa merasakan
kegundahan hatiku.
“Kau mungkin akan terkejut jika
mendengar fungsi obat ini.“
Kejutan lain apa yang bisa membuat
hariku bertambah buram?
“ini obat yang digunakan sebagai terapi penyembuhan
penyakit jantung san saraf kronis.“
Aku terperangah? Aku menatapnya kaget.
“Mana mungkin? Sofia baru berumur dua puluh tiga!“ seruku tidak percaya.
Dokter Astria mengangguk. “Walau jaRang
terjadi, kasus Alzheimer dapat terjadi di usia tiga puluh limaan. Jadi mungkin
saja Sofia mengalaminya. Itu pula yang menjelaskan mengapa ia terseRang
anoreksia karena salah satu efek pemakaian obat ini adalah menurunkan nafsu
makan.“
Aku terenyak di hadapan dokter yang
menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit Sofia. Seandainya tidak ada
bunyi telepon masuk, mungkin ceramah dokter itu masih terus berlanjut dan
membuatku makin bingung.
Dari Ardi. Dokter Astria menyilakan aku
untuk menerima telepon itu.
“Ya, Ar? Sudah baca e-mail-ku?”
Kudengar tawa Ardi jauh di sana.
“Jam dua malam? Kau sama gilanya dengan
kakakmu ya!”
“Sudahlah... ada info yang bisa
kudapat?“
Ia menghela napas dalam-dalam.
“Kebetulan aku lagi di Yogya, sudah
cari info sejak pagi tadi. Buruk, Ran.“ Ia terdiam sejenak, membuatku menjadi
mulas oleh rasa tegang.
“Akademi Sekretaris dan Manajemen EECOM memang pernah ada, tapi itu jadul banget. Menurut cerita,
sebenarnya sekolahnya cukup baik, tetapi ada konflik di yayasannya
sehingga akhirnya ditutup pada awal ’70-an.
Mereka hanya sempat meluluskan satu
angkatan saja.“
Satu angkatan? Ini mengejutkan, karena
pada ijazah Vera dan Lisa dinyatakan lulus namun berdasarkan tahun kelulusan
yang berbeda.
“Kau yakin?“
“Seribu persen. Aku mendapat info ini
dari salah seorang agen besar kita, Bu Hilna. Beliau asli sini dan tahu
seluk-beluk sekolah itu karena menjadi salah satu almamaternya.“
Perutku terasa kaku. Ada yang salah
dengan ketiga sekretaris itu.
“Ar, aku akan kirim beberapa file
padamu siang ini dan tolong dikonfirmasikan ke Bu Hilna segera. Kuharap malam ini
sudah ada report-nya,“
“Tapi, aku harus balik ke Purwokerto siang ini.“
“Ar, please... jangan khawatir, nanti
aku yang bilang ke Rino.“
Ardi tertawa, “Anything, Bos.
Anything!“
Kututup ponselku dengan perasaan
mengambang. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang sedang kami hadapi sekarang. Dokter Astria memandangiku. Sepertinya ia sedang memikirkan apa
yang barusan aku bicarakan dengan Ardi.
Baru saja ia akan membuka mulutnya,
tiba-tiba telepon ruangan berdering. Mengabarkan bahwa Sofia mulai berulah
lagi. Kami bergegas kembali ke ruangan di mana Sofia dirawat. Saat itu, aku melihat sendiri bagaimana
Sofia berteriak-teriak sembari mencakar-cakar wajahnya. Aku menjadi
ngeri bagaimana kukunya yang panjang itu membuat bilur-bilur merah di
wajahnya. Dua orang suster yang
memeganginya tampak kewalahan. Dokter Astria
memintanya menenangkan diri namun sepertinya sia-sia saja. Aku
tidak heran saat mereka memberikan obat penenang padanya agar bisa diam.
Sofia terkapar di atas kasurnya dengan
lemah, mataya memandang liar ke sana sini. Keringat bercampur dengan darah
dari bilur cakaran pada wajahnya menimbulkan kesan menyeramkan. Ia sama
sekali tidak kelihatan kesakitan, malah seperti sedang kebingungan.
Melupakan bagaimana menyebalkan sikapnya dulu, aku menjadi kasihan
melihatnya seperti itu.
Kusentuh bahunya. Ya, ampun, aku baru
sadar, jariku menyentuh tulang. Sofia begitu kurus dari balik baju rumah
sakitnya yang kedodoran. Rambutnya berantakan. Tanpa make up tebal, dia
benar-benar seperti oRang aneh. Kutelan ludahku yang terasa pahit.
“Sof…,” kupanggil namanya.
Sofia memandangiku seperti sedang mencari
sesuatu pada diriku. Aku sampai merinding karena ngeri dipandangi
serupa itu. Aku berharap ia memberikan satu dua patah kata sebagai respons.
Tetapi, aku harus kecewa. Sofia tidak menghiraukanku. Ia tidak mengenaliku.
“Sof… ini aku, Rania. Ingat? Katakan
sesuatu....“
Sofia menggeleng lemah.
“Cermin… mana cermin… aku ingin pulang.
Mana cermin… cermin… aku mau pulang….” Itu saja yang diucapkannya
terus-menerus sampai suaRanya kemudian makin lama makin lemah.
Kepalanya terkulai ke kiri. Ia tidur.
Aku menghela napas dalam-dalam. Dokter Astria
memeriksa denyut nadi Sofia, lalu dadanya. Kemudian ia mengatakan sesuatu
pada perawat yang mencatat dengan cepat di sebelahnya. Dokter Astria
menoleh padaku.
“Ayo, kutunjukkan sesuatu yang menarik
padamu!“ Ia memintaku untuk
mendekat ke arahnya. Perawat tadi
menggeserkan tubuhnya, memberikanku tempat di sisi Dokter Astria yang kini
mengangkat dagu Sofia ke atas. Kami bias melihat lehernya sekarang.
“Perhatikan keadaanya sekarang“
Aku tidak pernah memperhatikannya
karena Sofia selalu menyembunyikan apapun dariku. Dia begitu tertutup dengan
semua cerita hidupnya. Yah, cerita yang menimbulkan banyak penafsiran.
Dokter Astria kemudian memiringkan
wajah Sofia ke sisi kiri, menyibakkan
rambutnya memeriksa keadaan
Sofia yang semakin buruk.
Aku mencoba mencerna dari apa yang
kusaksikan sekarang. Itulah mengapa dia selalu terdiam
menutupi keadaannya.
Jika Sofia sedikit bercerita, maka ia tidak mau menyinggung tentang
kehidupannya.
Oh, pantas saja.
Dokter Astria mengajakku keluar dari
ruang perawatan Sofia.
“Saya hanya ingin memberitahumu satu
hal, Pak Ran.“ Dokter itu menatapku.
Dia mengatakan
kalau keadaannya sudah kronis dan mungkin nyawanya sulit untuk ditolong. Bila
dia bertahanpun pasti akan lumpuh seumur hidup. Aku tahu ini buruk, tapi tidak pernah
membayangkan separah ini. Aku terhuyung ke samping dengan pandangan berkunang-kunang.
Dokter itu menangkap tanganku dengan cepat.
“Kau baik-baik saja?“ tanyanya.
Setelah semuanya menjadi terang kembali, aku mengangguk sambil
melepaskan cekalannya. Aku hanya belum makan, sejak semalam aku
begadang dan sampai sekarang belum beristirahat sama sekali. Ditambah dengan kejutan
demi kejutan yang membuat semangatku makin merosot saja.
“Saya baik-baik saja, Dok. Terima
kasih. Maaf, saya harus bergegas untuk
menyelesaikan banyak masalah.“ Kedengarannya sombong sekali, tapi aku memang harus segera pergi dari tempat
ini.
Aku meminta Pak Handi mengantarku
pulang ke rumah. Aku harus segera melakukan scan tiga salinan ijazah dan
foto lama yang disimpan Sofia di bawah tasnya, dan mengirimkan kepada Ardi.
Sambil menunggu proses scanning, aku menyempatkan makan risoles ayam dan
minum teh manis. Pak Handi duduk di teras ditemani Mbok Nah sambil minum
kopi.
Dalam hati aku sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi
sehingga Pak Anton bisa meloloskan sekretaris dengan ijazah fiktif
seperti mereka? Apa yang membuat mereka demikian istimewa hingga
memperoleh perlakuan khusus?
Tinggal di apartemen mewah, gaji besar,
kerja asal-asalan dan mengorbankan rekan-rekannya selama belasan tahun!
Hebat sekali!
Aku baru akan menelepon ketika Ardi
menghubungiku. E-mail-ku sudah sampai.
FOTO DAN IJAZAH
ITU
Alhamdulillah, aku bersyukur sekali
dengan kemajuan teknologi wireles yang dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja tanpa
terikat kabel.
Ardi berpesan agar aku jangan pergi
dulu dari rumah karena ia berada dalam perjalanan menuju rumah Bu Hilna. Aku
melihat jam, sudah hampir pukul satu. Pas waktunya makan siang. Sekitar lima belas menit kemudian, ada
SMS Ardi yang memintaku menghubungi sebuah nomor telepon rumah di Yogya.
Kubawa laptop, berkas-berkas Sofia dan catatanku ke ruang tengah.
Adrenalinku mulai naik. Ini pasti akan sangat menarik. Kutekan nomor sesuai yang
di-SMS Ardi padaku. Ia langsung menyambar telepon begitu nada kedua
masuk.
“Ran, ini Bu Hilna, kau bicara sendiri
padanya sementara aku akan membuka file-nya.”
“Thanks sekali, Ar.”
Perutku terasa kaku sekarang menunggu perpindahan dari Ardi ke
Bu Hilna. Sesaat kemudian kudengar sebuah suara lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu Hilna? Saya Ran...,“
aku memperkenalkan diri.
Sepatah dua patah kata basa-basi
mengawali percakapan yang segera mengalir
di antara kami. Beberapa saat kemudian,
aku merasa dipaku pada sofa yang kududuki setelah mendengar informasi
mengangetkan yang diberikan oleh Bu Hilna. Ia mengatakan seperti yang diceritakan
Ardi beberapa jam sebelumnya. Saat aku minta ia menunjukkan nama-nama
dalam foto yang kukirimkan ke Ardi lewat e-mail, dengan lancar ia
menyebutkan nama kesepuluh gadis yang berpose di sana. Aku mengikutinya
dengan memberi tanda pada foto yang kupegang dengan pensil. Nama-nama yang
kukenal: Lisa Subyastuti dan dan beberapa mahasiswa disana berada di sana sebagai dua orang gadis yang sedang duduk sambil merangkul satu sama lain adalah palsu. Itu
editan Photoshop. Karena dia sama sekali tidak mengenal Lisa dan Vera. Bahkan
dia bisa menunjukan foto ali yang belum diedit.
“Keterangan itu membuatku meradang. Gadis
berkacamata yang tampak lugu dan sederhana sedang duduk paling kiri
pada foto di warung lesehan gudeg itu. Aku jadi makin puyeng.
“Apakah Ibu yakin?”
“Saya yakin sekali.” Jawabannya membuatku terbelalak.
“Kalau Vera?” kejarku kemudian.
“Vera dan Lisa menurut
aku dan Ardi adalah orang yang sama. Dia hanya ganti penampilan. Lihat
baik-baik fotonya”
Makin lama makin aneh, tapi terus terang menjadi menarik sekali.
“Bagaimana dengan Lisa, Bu?“
Bu Hilna tertawa, kedengarannya tidak enak di telinga.
“Bapak ini aneh orangnya. Bapak tidak mudah
puas dengan jawabanku.“
Aku merasakan peningkatan adrenalin
dalam tubuhku.
“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui dari mana
kira-kira Lisa mendapatkan foto untuk di edit dan ijasah palsu itu?”
“Wah, saya tidak tahu, Pak..”
“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, mungkin diantara
teman ibu yang mempunyai foto itu?”
“Saya sudah tidak ada
komunikasi. Kecuali dengan
Selva, tapi dia tidak punya foto itu”
Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih
pada Bu Hilna. Suara Ardi kembali berada di
ujung telepon.
“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan
sekarang?”
“Terima kasih banyak atas bantuanmu,
Ar. Sungguh-sungguh membantu.“
Ardi tertawa di ujung sana.
“Kau utang padaku, bebek goring Rica-rica.”
“Anything, Bos. Anything,” kukutip
kata-katanya dulu.
Aku menjadi lemas. Punggungku terasa
basah oleh keringat, dan kedua tungkai kakiku gemetaran. Kuperhatikan dengan seksama wajah lima gadis yang ada di dalam foto itu. Satu di antaranya sudah pasti menjadi sekretaris perusahaan ini. Tapi, bagaimana Lisa bisa melamar pada posisi itu dengan menggunakan ijazah palsu? Siapa
yang tidak jujur di sini? Tadinya aku ingin membuka semuanya
dari
dengan Sofia.Tetapi, jelas tidak mungkin, karena dia akn diam
seribu bahasa dan menutupnya rapat-rapat, sedangkan sekarang mulai pikun! Seandainya aku bisa
menemukan bukti. Tetapi, semua itu tidak mudah.
Aku mencoba mengurut melalui billing
statement dari kartu kredit yang digunakan oleh Sofia. Billing statement
itu keluaran Setahun lalu. Dari beberapa Rumah Sakit di Bandung.. Transaksi yang dikeluarkan juga cukup besar, hampir Rp 25 juta. Per transaksi.
Aku mencoba mendapatkan file
dari rumah sakit itu. Mungkin ini bisa menjadi titik terang keadaan Sofia
pikirku.
Setelah no telepon Rumah Sakit itu, aku segera menelepon melalui ponsel Sofia
dengan harapan aku tidak akan ditolak saat aku menanyakan beberapa hal. Seorang pasien rutin seperti Sofia pasti sudah
diketahui Rumah Sakit.
“Selamat siang, Pak? Ada yang bisa dibantu....“ Seperti dugaanku, mungkin ini bisa
menjawabnya..
“Siang juga, Mbak... ini dengan
kakaknya Sofia?“
“Ada yang bisa dibantu “
“ Sebenarnya pasien yang bernama Sofia
usia 27 tahun dari Ciamis, sakit apa?“
“ Adik anda terkena penyakit jantung dan
paru-paru kronis dan ada kemungkin syaraf pada otaknya. Ada juga dugaan terkena
kangker otak“
“ terimakasih atas
informasinya. Selamat siang “ Ucapku sambil kemudian menutup panggilan itu.. Aku yang berlagak menjadi kakak Sofia yang ternyata mampu
membuka keadaan Sofia sebenarnya sehingga tingkahnya selama ini begitu aneh.
Aku jadi kasihan melihat keadaannya. Sofia adalah seorang yang sedang sakit parah, sehingga harus dilayani dengan baik.
Jadi, aku mendapat nomor Dokter Arman Siwabessy tentang bagaimana
menyembuhkan penyakit yang diderita Sofia.. Aku juga menanyakan cara terkini tentang jalan
keluarnya.
“Banyak, sih. Di Singapura dan
Australia bisa dengan cara aman “ kata Dokter Arman di rumahnya.
“Oh, gitu....Dok, Dokter tahu nggak kalau pengobatan ke
Singapura sampai berapa biayanya?“ iseng-iseng aku bertanya.
“Tergantung tindakannya, sih. Sekitar
Rp150juta – Rp300 jutaan, Pak.“
Wow! Luar biasa! aku meminta nomor telepon dan alamat
yang
disebutkan dan segera pamit padanya setelah selesai. Rasanya
sekarang makin menyesakkan dada.
Aku kembali
kerumah, bukannya ke kantor. Aku masih bingung dengan permasalahan ini. Sepertinya aku mulai tahu ke mana arah
permasalahan ini akan menuju. Tentang sekretaris dan penyakit Sofia.
Ada seseorang yang menggunakan nama dua orang sebagai alumnus AECOM untuk kepentingan pribadinya. Ini berarti mempersempit penyelidikan lebih jauh.
Ada seseorang yang bersembunyi membantu Lisa dan Vera atau Sofia saat ini. Dan
aku yakin, seseorang itu ada hubungannya dengan SMS tentang paket TO. Tetapi,
untuk apa dan mengapa? Mbok Nah tiba-tiba muncul di hadapanku.
Ia menanyakan apakah aku balik ke kantor atau tidak. Aku baru sadar, hari
sudah hampir pukul tiga sore ketika kudengar azan salat Ashar. Aku segera salat, setelah itu
kembali ke kantor bersama Pak Handi. Lelaki itu sama sekali tidak menanyakan
mengapa aku berlama-lama di rumah. Mungkin ia sudah diinstruksikan
demikian. Di jalan aku menelepon Dokter Astria, barangkali ia mengetahui informasi mengenai Dokter Arman Siwabessy. Ia
mengatakan, dokter itu adalah seorang dokter umum lulusan Akademi
kedokteran di Los Angeles, Amerika Serikat,. Dokter Arman adalah ahli penyakit
dalam di rumah sakit umum di Ciamis sejak 20 tahun lalu.
“Jadi, dia seoang tahu tentang
penyakit paru-paru dan jantung, Dok?“ tegasku.
“ Dokter Arman Siwabessy adalah teman
satu angkatan kakakku.“
“Oh, begitu, ya, Dok?“
“Ada apa, Ran? Tampaknya Dokter sedang
sibuk?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Terima kasih
atas informasinya.”
Aku terdiam, berusaha merangkai semua jawaban yang kuperoleh
hari ini. Aku merasa mulai dekat kepada jawabannya.
“Pak Ran nggak apa-apa?” Pak Handi melirikku
dari spion.
“Oh, saya baik-baik saja. Memang
kenapa, Pak?”
“Hmm... Bapak pucat sekali. Apa tadi belum makan?”
Aku tertawa tidak menanggapi
perhatiannya.
“Pak Ran jadi repot, ya, mengurusi Mbak Sofia.”
“Ini setengah terpaksa, setengah
dipaksa,” aku bergurau menjawabnya.
Pak Handi tertawa. Aku ingat sesuatu.
Yang mengherankan menurut Pak Handi adalah Sofia
begitu baik padanya. Sangat aneh bagi seseorang yang baru menginjakkan kakinya di Ciamis saat itu.
DIBALIK
KEMATIANNYA
Jawaban dari sebuah
misteri
itu makin meyakinkan aku pada sesuatu yang aku takutkan. Sebenarnya, aku sudah mulai bisa
menduga apa yang dilakukannya Sofia, Vera dan Lisa
“Mengenai Tere, saya dengar dia
ditabrak mobil ya, Pak. Handi tahu“
“Wah, itu mengerikan sekali, Pak. Mbak Tere itu, biarpun orang kaya, ia sangat merakyat. Kalau makan siang,
kami biasa makan di kaki lima depan kantor. Eh, nggak tahu kenapa hari itu
dia apes sekali.“ Pak Handi kelihatan menyesal saat menceritakan kejadian
beberapa tahun lalu.
Menurutnya, siang itu Tere tidak pergi
bersama-sama yang lainnya saat makan siang. Ia harus menerima telepon
penting dari seseoRang. Saat ia menyusul lima belas menit kemudian, sebuah mobil Mini bak terbuka dengan kecepatan tinggi menabraknya persis di depan warung
tempat mereka makan. Tere terpental sampai masuk ke dalam got air,
punggungnya patah dan kepalanya retak. Mini bak terbuka itu langsung kabur begitu saja.
“Kasihan Mbak Tere, sekarang menjadi cacat dan nggak mau ketemu
kami lagi. Mungkin ia merasa marah.“
“Saya bisa mengerti. Kata Bu Marta, Afisya
dan Tere adalah sekretaris yang hebat,“ kupancing ia dengan nama Afisya.
“Bukan hanya hebat, Mbak, tapi juga
baik hati. Apalagi Mbak Afisya. Dia itu dermawan dan ringan tangan. Dia sering
liburan ke luar kota. Kalau pulang, kami semua diberi hadiah. Para pesuruh
kantor senang padanya, karena sering diberi tip. Apalagi kalau dia lembur
sampai malam-malam.“
Pak Handi menggelengkan kepala dan
menghela napasnya dalam-dalam.
“Karena lembur itu juga, kami terlambat
menyelamatkan nyawanya.“
Afisya saat itu bekerja keras
menyelesaikan laporan akhir bulan karena Pak Anton sedang ke Singapura untuk
menemani istrinya yang menjalani operasi pengangkatan rahim. Petugas keamanan
malam itu merasa curiga karena sampai pukul sepuluh malam Afisya belum
juga keluar dari kantor, padahal lampu ruangannya sudah padam. Dua orang petugas keamanan kemudian
berkeliling untuk memastikan keberadaannya. Saat tiba di parkir
basement, mereka menemukan mesin mobil Afisya masih menyala. Saat mereka
melongok lewat kaca jendela, mereka terperanjat. Afisya terkulai di kursinya
masih dengan mengenakan sabuk pengaman. Kedua petugas keamanan itu
memecahkan kaca untuk
mengeluarkan Afisya dari dalam mobil.
Bau gas karbon monoksida begitu
menyengat. Afisya sudah demikian lemas.
Ia meninggal dalam perjalanan
menuju rumah sakit.
Aku terdiam lama mendengar tragedi
malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh
kantor ini. Pak Handi juga tidak berkata apaapa lagi sampai kami tiba di kantor.
“Capek, ya, Ran?“ Bu Marta menoleh ke
arahku saat aku masuk.
Aku tersenyum. Serius, capek sekali
badanku. Kuletakkan Ranselku di atas
meja. Ada selembar post it warna merah
yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Hardi, aku diminta datang ke apartemen
sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.
Aku minta izin Bu Marta untuk pulang
lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Rino tidak berada di tempat karena
sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan
sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Cibodas
Indah. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Hardi padaku kali ini.
Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi
padaku.
Sesungguhnya memang, keyakinanku menjadi kenyataan.
Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku.
Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Sofia
sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuRan folio padaku.
Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Sofia. Dan
pengirimnya adalah Nadia Utami, Ciamis. Aku meragukan itu
nama sebanarnya pengirim. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?
“Barangkali Ibu memerlukan,“ kembali
kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu
yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki
itu.
Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di
dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan foto yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Rino Harjo Pra Anton. Tetapi,yang lebih mengejutkan
lagi adalah baik pada salinan akta kelahiRan maupun
pada amplop itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo PraAnton dan
Lisa Subyastuti!
Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas
pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikranku menjadi teRang sekarang. Aku telah menemukan orang yang kucari selama ini. Sosok yang
bersembunyi di balik wajah Sofia saat ini juga kemungkinan besar dekat dengan Lisa. Sesungguhnya, mereka adalah ibu dan anak. Lisa. Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa
ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka anak kandung pak
Anton, ayah angkatku yang pernah tercampak puluhan tahun yang lalu. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba,
maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit
baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi
ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Sofia adanya, dan hanya Pak Anton saja yang
mengetahui rahasianya.
Taksi itu kuminta memutar balik ke
rumah sakit. Aku ingat pada foto lama
Stasiun Yogya yang tergantung di ruang
kerja Pak Anton, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada
nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin
disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang
ditunjukkannya.
ANAK YANG TERBUANG
Pesan yang harus diingat dengan baik
oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Anton.
Kembali ke rumah sakit, aku menemukan
kenyataan bahwa Sofia atau siapa pun ia telah dipindahkan ke sal
perawatan mental. Sebab, jika ia dijadikan satu area dengan orang-orang sakit pada umumnya, dikhawatirkan
tingkahnya akan mengganggu ketenangan yang lain. Dan, di ruang perawatan
mental, tidak boleh sembaRang oRang mengunjunginya. Aku mengirim SMS
kepada Rino dan Bu Marta mengenai perubahan status perawatan itu.
Aku hanya bisa memperhatikan wanita itu
dari balik kaca. Kembali aku merunut kisah ke belakang dan mulai mereka-reka
kejadian yang mungkin telah terjadi di masa lampau berdasarkan bukti yang
kumiliki saat ini.
Bahwa Lisa, terdorong oleh rasa
cintanya yang telah membutakan mata hatinya, rela melakukan apa saja demi
mendapatkan Pak Anton. Padahal, lelaki yang sempat beberapa minggu
mampir di Yogya untuk sekadar iseng itu tak pernah serius menanggapinya. Tapi,
tidak bagi Lisa. Ia demikian serius dengan cintanya hingga rela menyerahkan
jiwa raganya bulat-bulat pada lelaki itu. Ia mengandung, melahirkan, dan
menanggung malu yang amat sangat.
Kenekatannya membawanya ke Ciamis,
menyusul Pak Anton setahun kemudian. Betapa hancur rasa hatinya
melihat lelaki yang dicintainya ternyata telah menikah dengan seorang perempuan berdarah ningrat, kaya
raya, dan sakit-sakitan. Lisa kemudian menyusun rencana agar dirinya
dan anak Perempuannya yang sebenarnya anak kandung Pak Anton bisa masuk ke dalam kehidupan Pak Anton.
Ia mulai mengancam melalui istri lelaki itu, akan membongkar semua rahasia
mereka tanpa ampun.
Pak Anton, sekalipun seorang lelaki berkategori playboy, sangat
mencintai
istrinya. Ia tidak mau kehilangan
wanita yang mampu memahami jiwa
petualangnya itu. Maka, sejak Lisa
muncul dengan segala ancamannya, ia
bersedia mengikuti permainan wanita
itu. Ia menurut untuk mengambil bayi yang seolah-olah berada di panti asuhan
itu. Kemudian ia memberinya nama Rino dan mengangkatnya sebagai anak. Di
luar dugaannya, ternyata kelak Rino akan menjadi penghibur dan anak
kesayangan bagi istrinya yang sakitsakitan itu.
Setelah kehidupan anaknya terjamin, Lisa
menuntut jaminan tempat
tinggal yang nyaman dan pribadi
sifatnya. Pak Anton menuruti. Ia menempatkan Lisa di Apartemen Cibodas
Indahe miliknya sendiri.
Lisa berupaya masuk makin jauh dalam
kehidupan Pak Anton dengan
menjadi sekretaris pribadinya. Dengan
segala cara dan upaya ia selalu berusaha menjerat Pak Anton agar kembali ke
dalam pelukannya. Namun, makin ia berusaha, lelaki itu makin menjauhinya
dengan cara menjalin cinta di sanasini bersama beberapa wanita lain yang lebih
muda darinya.
Lisa menyadari bahwa ia tidak bisa
bertempur melawan umur. Maka, satusatunya cara agar bisa membawa kembali Pak Anton
padanya adalah ia harus mengubah total penampilannya. Ia harus
menjadi oRang yang berbeda sehingga mendapat penilaian yang berbeda pula.
Maka, nafsu yang telah membutakan mata hatinya menuntun Lisa menemukan oRang-oRang
seperti Heriandi, yang mampu mengubah identitasmya menjadi oRang
lain, dan juga (mungkin) Dokter Arman Siwabessy yang sanggup mengubah
wajahnya.
Dalam beberapa waktu lamanya Lisa
menghilang dari kehidupan Pak Anton. Mengubah wajah dan penampilan,
mengganti identitas diri dan selanjutnya menjadi Vera. Ia kemudian masuk kembali ke perusahaan dalam sosok
yang berbeda. Lisa menekan Pak Anton untuk menerima dirinya sebagai Vera,
untuk menjadikan sekretaris baru menggantikan Tere. Semula Pak Anton menolaknya. Ia sudah cocok memiliki
sekretaris seterampil dan seahli Tere dalam mengelola pekerjaan. Tere sangat
membantunya. Lisa terus menekannya melalui telepon, tapi Pak Anton
tidak menggubris. Sebenarnya,
lelaki itu bersyukur telah terbebas
dari Lisa selama beberapa waktu. Ia tetap mempekerjakan Tere sampai terjadi
kecelakaan yang mengerikan di
depan kantor.
Lisa mengulang kesuksesannya memasuki
kehidupan Pak Anton kembali.
Namun, ia harus menelan kenyataan pahit
bahwa lelaki itu memang tidak
pernah menerima perubahannya, sekalipun
ia sudah berusaha kuat. Pak Anton selalu berhubungan dengan orang lain, bukan dengan dirinya. Seberat
apa pun selama bertahun-tahun menjadi Vera, Pak Anton tidak pernah
menanggapinya lebih dari sekadar Sekretaris biasa.
Begitu besar keinginan untuk merebut
hati lelaki itu, sampai-sampai ia tidak memperhatikan bagaimana anaknya telah
dirawat dengan baik oleh istri Pak Anton yang sungguh-sungguh
menyayanginya. Anak laki-laki kembaran Sofia yang ia letakkan didepan
pintu rumanya ketika masih bayi. Anak bukan lagi menjadi prioritasnya. Satu-satunya keinginan Lisa
adalah dinikahi oleh lelaki itu.
Sekali lagi, ia menjerat Pak
Anton, kalau dia tidak mau menikahinya ,maka anak kandungnya sendiri Sofia akan
ia bunuh.
Kali ini ancamannya
membuat Pak Anton luluh dan menikahinya secara diam-diam.
DEMI HATINYA
Manusia telah buta
oleh sebuah nafsu yang membiusnya dengan kuat. Manusia memang akan melakukan
segala cara untuk mendapatkan segalanya.
Lisa belajar meningkatkan kemampuannya untuk dapat
meraih kepercayaan Pak Anton atas dirinya. Ia belajar banyak hal.
Meninggalkan kemahiRan mengetik steno yang dimilikinya, lalu mulai belajar
komputer, juga memperdalam pengetahuan tentang hukum perdagangan.
Tetapi, Pak Anton telanjur menyayangi Afisya.
Lisa dibuat cemburu hebat
oleh kedekatan lelaki yang dikasihinya
itu dengan wanita workaholic bernama Afisya. Di matanya, ambisi Afisya
sungguh kelewatan. Ia mampu bekerja dua belas jam sehari. Keandalannya membanggakan,
karena ia mampu menangani masalah administratif dan manajemen.
Terlebih pada masa itu, istri Pak Anton berada dalam kondisi paling kritis
dalam hidupnya sehingga membutuhkan perawatan intensif di Singapura. Di
situlah peRanan Afisya sangat menonjol.
Lisa tidak membiarkan kehebatan itu
berlangsung lama. Melalui bantuan Heriandi, ia berhasil kembali ke dalam
posisinya sebagai sekretaris setelah Afisya meninggal dunia akibat keracunan
gas karbon monoksida yang memenuhi mobilnya. Sekali lagi, ia berhasil.
Tetapi, kesuksesannya kali ini membuat
Pak Anton makin membencinya. Lelaki itu bahkan menunjuk Bu Marta untuk merangkap beberapa tugasnya yang makin dibatasi. Lisa diperlakukan sebagai
boneka di kantornya dan tidak diberi kepercayaan oleh lelaki itu. Pak Anton
bahkan menyebutnya sakit dan menyarankannya untuk segera mengonsultasikan
dirinya ke seorang ahli jiwa.
SAKIT, DIA SAKIT
Kepanikan yang
menrpa hidupnya membuatnya semakin tidak menentu. Lisa begitu marah disebut sakit.
Bertahun-tahun ia berjuang memperoleh
kebahagiaannya bersama lelaki itu,
tetapi tidak berhasil digapainya. Yang ia terima selama itu hanyalah perubahan
drastis pada penampilan luarnya saja sampai beberapa kali mengganti nama. Selain itu, tidak ada.
Apartemen yang ia huni saat itu pun
adalah milik Pak Anton yang hanya boleh ia tempati selama ia bekerja padanya.
Dan, itu bisa saja berakhir setiap saat, terutama setelah lelaki itu meninggal
dunia.
Lisa mendapatkan kenyataan pahit selain
kematian lelaki yang tidak pernah memberinya cinta dan kasih
sayang,
kecuali seorang anak yang tidak pernah mengenalinya.
Ternyata, tubuhnya pun mulai lelah
melawan waktu. Bertambahnya umur membuatnya tidak mampu menahan lajunya
hukum alam yang memaksanya dirinya untuk introspeksi diri. Namun
dasar hatinya telah dipenuhi oleh ambisi dan nafsu dunia, semuanya menjadi
gelap , yang ada hanya memburu kepuasan saja. Ia menderita penyakit jantung dan
paru-paru. Maklum saja kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan penghisap nikotin. Penyakit itu membuatnya bekerja ekstra
keras agar penampilannya tetap seperti wanita yang berusia awal empat puluhan puluhan. Amatlah sulit menjaga diri dari diet dan obat-obatan agar
penampilannya terjaga. Akhirnya situasi yang mengerikan itu muncul juga. Ketatnya
diet membuat penampilannya berantakan. Lisa dipaksa mengganti
blus-blus seksinya dengan blus turtle neck agar lehernya yang mengendur bisa
tertutup. Ia juga mengecilkan rok dan celananya yang makin lama makin
longgar.
Lisa terpaksa menerapkan make up tebal
untuk menyiasati wajahnya yang berubah karena tubuhnya makin kurus karena penyakitan. Penyakitnya telah menjadi momok yang memaksanya untuk sering
bercermin dan mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit jantung dan
paru-parunya. Ia berharap akan ada kesembuhan dan
perubahan
dalam dirinya yang bisa membuatnya bahagia. Tetapi, makin lama makin ia sadar bahwa
hidupnya menuju kehancuran. Dengan penyakit yang sekarang sedang bersarang manis di tubuhnya, masa depannya bisa berakhir dengan singkat. Maka, ia meminta bantuan Heriandi
sekali lagi untuk membuatkan akta kelahiran palsu dan bekerjasama
dengan pengacara.
Tujuannya jelas, ia akan memaksa Rino anak angkat Pak Anton yang sekarang
menjabat sebagai bosnya Sofia memberikan warisan ayahnya kepada Sofia untuk menjamin kehidupan anak
hasil hubungan gelap dengan pak Anton. Tetapi sayang, di saat rencana itu baru
dijalankan, Rino ternyata membuat rencana lain terhadap perusahaan. Demi
efisiensi dan efektivitas, maka ia telah menggabungkan perusahaan ayahnya dan
dirinya berada dalam satu atap di bawah kendalinya.
SELAMAT JALAN,
LISA
Rino adalah sosok
pemimpin yang mampu membawa kebaikan pada perusahaan. Sifat dan gaya kepemimpinan yang cepat,
tegas, dan keras membuat Lisa pontang-panting. Pertama, karena sejak awal ia
tidak terbiasa dengan tugas-tugas berat. Kedua, kondisi fisiknya
mulai menurun. Pada akhirnya penyakit jantung dan paru-parunya
mengantarkan dia pergi untuk selama-lamanya meninggalkan ambisi yang belum ia tuntaskan. Tubuh yang selama hidupnya
dipenuhi dengan kemunafikan kini pergi bersama keputus asaan. Cerita yang akan
dikenang tanpa sebuah makna, bias tak berbekas.
Sofia terpukul oleh keadaan itu. Namun sekarang
dia duduk sebagai pengganti ibunya sebagai sekretaris atas rekomendasi Bu
Marta, yang tahu tentang hubungan darah antara Sofia dan Pak Anton. Wlaupun
wanita itu sama sekali tak pantas menjadi sekretaris namun dia tetap di
posisikan di perusahaan itu sebagai sekretaris. Sekretaris yang menjegkelkan
semua orang. Namun kecantikannya juga telah memperdayaku dan Rino untuk
mengubahnya menjadi wanita modis dan dijadikan sebagai kekasih hatiku. Ia bagaikan seekor siput dalam dunia
hewan berkaki dan bersayap yang dapat bergerak dengan lepas dan bebas atau seperti
elang terbang dengan sejuta ambisi mencari mangsa untuk kebutuhan perutnya. Ia begitu sombong, sayang dia bukan elang tetapi siput
yang tak
bertenaga dan tidak bisa diandalkan. Dalam beberapa hal ia menjadi begitu menyebalkan dan dicap sebagai
trouble maker. Tetapi, ia bertahan untuk tetap berada dalam
posisi itu sampai Heriandi dapat membawakan surat-surat yang akan
menyelamatkan hidupnya dari kehancuRan. Malang baginya, tekanan yang diberikan Rino
dengan gaya kepemimpinannya itu membuatnya terpuruk dalam waktu
singkat. Ia mulai kehabisan napas, tidak memiliki ruang gerak, miskin ide dan
kehilangan harga diri di mata anaknya yang tidak pernah mengenalinya itu.
Ketegasan sikap anak muda itu dengan memberikan satu demi satu tekanan kepada
Sofia untuk berubah dan memperbaiki diri. Begitu tertekannya, sampai ia sama sekali
tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan, suatu ketika malah menjadi blank sama
sekali.
Sofia linglung. Ia mendadak kehilangan
kemampuan mengenali apa pun,
siapa pun, dan apa yang sedang
dihadapinya. Sesaat setelah ia bisa kembali sadar, ia menjadi khawatir akan
kondisinya itu. Segera ia mencari dokter untuk membantu masalah yang dihadapinya. Ia
kemudian menjalani sejumlah tes untuk memastikan kondisi tubuhnya.
Beberapa waktu kemudian ia menerima vonis yang begitu menakutkan.
Dokter spesialis saraf itu menjelaskan
kondisi kepalanya. Beberapa hal tentang bagian-bagian otaknya yang mulai
mengecil, juga simpul-simpul saraf yang menyusut. Kondisi ini juga
membuat Bu Marta sangat menyayanginya, karena dia adalah satu-satunya anak pak
Anton. Semuanya
berujung pada satu hal: Alzheimer dementia alias pikun.
Dokter itu merasa tertarik padanya
karena Sofia mencatatkan usianya 27 tahun. Namun keadaan
dirinya sudah separah itu. Dokter itu menyarankan agar dirinya rajin melakukan
kontrol untuk memulihkan kesehatannya dengan segera. Tetapi, Sofia tidak pernah kembali kepada dokter itu. Ia
mengendalikan penyakitnya dengan terus minum obat yang dibelinya melalui pasar
gelap. Ia mencemaskan keadaan akan makin memburuk, jika makin banyak orang tahu akan penyakitnya. Bu Marta yang
selama ini begitu menyayangi wanita itupun tidak tahu dengan kondisi Sofia yang
sebenarnya.
Apa yang ditakutkannya itu terjadi.
Siapa pun tidak akan pernah melupakan kejadian siang itu saat Rino
menjatuhkan vonis atas Sofia. Padahal Bu Marta sudah mewanti-wanti Rino dan Aku untuk
menjaga Sofia baik-baik tanpa memberitahu apa alasannya, yang jelas kami
menghormati Bu Marta seperti Ibu kandung sendiri. Namun kenyataan penolakan
cinta dan usaha Rino untuk mengubah Sofia selalu berbuah dengan kegagalan dan
penolakan, membuat kesabarannya telah mencapai ujungnya. “ini adalah Yang
terbaik “ pikir kak Rino.
HAKEKAT
Mentari menunjukan sebuah tanda keindahan alam yang
seharusnya membuat kita semakin bersyukur dan dekan dengan penciptanya.
Kenyataannya semua itu telah membuat kita semakin jatuh dalam Ranah yang
mengerikan mengejar sebuah harga diri atas dasar kemewahan dunia. Ini adalah
sebuah kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan.
Kuusap wajahku dan mendadak tubuhku
lemas menyadari kisah yang kurangkai tadi. Saat kuluruskan punggungku,
kulihat Rino berjalan cepat ke arahku. Aku harus mengatakan semua teori ini
padanya.
“Kau masih di sini?“ tanyanya, biasa
saja.
Aku hanya mengangguk. Rino kemudian
melongok ke dalam melalui jendela yang terbuka. Ia tidak berkata apa-apa
selain duduk di sisiku. Sesaat kemudian Dia menanyakan tanggal lahirnya. Dengan separuh heran ia menjawabnya: 5 Juni.
“Aku akan menunjukkan keajaiban tanggal
5 Juni padamu.“
Satu per satu berkas ijazah palsu itu
kuberikan kepadanya. Foto lama Stasiun Yogya yang sama tergantung di dinding
ruang kerja ayahnya dulu juga membuatnya kelihatan terkejut. Belum
lagi ketika foto Lisa dan Vera kuberikan untuknya, dan terakhir yang membuatnya
terdiam lama: salinan akta kelahiran atas namanya.
Keheningan menyekap kami dari segala
arah beberapa saat lamanya. Aku bersandar lelah, benar-benar lelah
setelah beberapa hari bekerja keras untuk mencari keluarga Sofia. Ya, aku memang
berhasil menemukannya. Ternyata, ia begitu dekat denganku.
“Jadi, kaupikir... mereka ini...,“
suara Rino menggantung, kedengarannya tidak yakin dan lemah untuk seorang yang keras dan otoriter seperti
dirinya. Aku mengangguk tegas. Rino tampak bimbang.
“Sama. Satu orang yang sama untuk dua masa yang berbeda.“
“Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi.
Bagaimana ia bisa begitu kejam?“ ia memandangku tak mengerti.
“Untuk seorang wanita yang sudah menyerahkan segalanya
dan berjuang habishabisan untuk mendapatkan cintanya.“
Kemudian aku mengulang cerita
penemuanku di apartemen Sofia. Bagaimana aku mencari data pada malam itu. Lalu
tentang pembicaraanku dengan Bu Hilna. Aku juga menghubungkan dengan
kisah tragis dua sekretaris yang malang itu. Kupertegas dengan analisis
Dokter Astria dan bukti billing statement yang menyatakan adanya tindakan ayah atas wanita itu. Dan lahirlah Sofia
dari rahim Lisa, juga SMS-SMS itu.
Rino menarik napasnya dalam-dalam.
“Jika semua ini benar, apa yang
diinginkannya?“ tanyanya, ragu.
“Rasa aman,“ jawabku, santai.
Ya, hanya itu yang diharapkan Vera atau
Lisa. Rasa aman untuk menjamin hari tuanya. Ia sudah gagal
memperoleh kebahagiaan dalam merebut
kembali
Pak Anton. Sementara anak haramnya dengan Pak Anton tidak mendapat
pengakuan walupun Pak Anton sendiri tidak memiliki anak. Malangnya dia
mengangkat Kak Rino dan aku sebagai anaknya. Sekalipun segala cara sudah
dilakukannya, ia tidak dapat meraih cinta yang dulu pernah
membahagiakannya. Harga sebuah cinta sejati yang berselimut ketulusan tidak dapat dinilai dari bentuk dan
keindahan fisik yang diperjuangkannya selama ini habis-habisan. Hanya ketulusan dan keihlasan yang dapat menjaga sebuah cinta menjadi indah dan abadi. Seperti yang dilakukan Pak Anton
terhadap istrinya yang rapuh. Wanita yang ternyata sakit-sakitan dan rahimnya diangkat
itu dijaganya sampai akhir hayatnya. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya lelaki tua itu sering melampiaskannya kepada wanita-wanita cantik.
Entah apa sebenarnya yang terjadi, yang jelas pak Anton setia menjaga isterinya
itu yang merupakan anak tunggal sampai tutup usia.
Rino termenung dalam waktu yang lama.
Mungkin ia sedang berpikir keras mencerna apa yang barusan kusampaikan.
Berkas-berkas itu aku ambil kembali, lalu kumasukkan ke dalam ransel. Seorang perawat datang kepada kami dan mengatakan bahwa Sofia kembali gelisah.
Kami bergegas masuk untuk melihat keadaannya.
Wanita itu terbaring dengan kedua
tangannya terikat pada tepi ranjang.
Mungkin ditujukan agar ia tidak
mencakari wajahnya lagi seperti sebelumnya.
Ia memperhatikan kami tanpa ekspresi
apa pun saat melihat kami masuk.
Padahal, aku berharap ia akan berteriak
histeris melihat kedatangan Rino.
Kengerian menapaki diriku melihat bilur
luka yang makin merah dan bengkak.
Mungkin, karena ia menderita tekanan jiwa yang
begitu kuat atas kepergian ibunya dan perlakuan Anton yang memecat dirinya, membuat wanita itu semakin
terpuruk dan bingung harus bergantung pada siapa lagi di dunia ini..
Penyakit yang
diderita Sofia makin lama semakin parah. Sekalipun naif, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa
dengan Sofia. Apapun dia adalah
anak kandung Pak Anton, sekalipun sebagai anak haram. Kak Anton tak pantas
memperlakuaknnya seperti itu. Sungguh biadab aku ini jika membiarkannya, ucapku dalam hati.
Kematian? Apakah itu yang diinginkan Sofia? Untuk mrngskhiri
semua ini. Padahal aku mulai mengerti peranku sebagai kakaknya yang harus
melindunginya. Otaknya
dalam menggali memori yang perlahan-lahan menghilang dari dalam benaknya, apakah ia ingin sekali saja
melihat dirinya
diperhatikan dan dimanja dengan segala kekurangan pada dirinya. Rino bergeming, wajahnya terlihat sayu dan kelihatan ia merasakan
derita yang dialami Sofia.
Sekarang aku mengerti, aku tahu dari mana ia
memperoleh sikap yang demikian tidak berperasaan. Aku begitu jahat padanya.
Sofia makin gelisah, ia meronta-ronta
di atas ranjangnya sambil terus untuk dilepaskan
ikatan tangannya.
Rino membisu. Kuhela napasku dalam-dalam. Aku membeRanikan diri untuk menenangkannya, agar
wanita itu
percaya, aku menyayanginya.
“Tenangkan dirimu Sofia, aku
menyayangimu?“
sapaku, hati-hati.
Sofia tersentak. Kelihatan kalau ia terkejut
mendengar panggilanku. Sesaat kemudian ia menoleh perlahan ke arahku.
Tanpa sadar aku mundur selangkah. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia
rasa dari caranya
melihat dan memandangku dengan aneh. Jantungku berdegup kencang. Bibirnya yang kering
bergerak dengan sedikit gemetar.
“Kau menyayangiku,“ suaranya terbata, seperti sedang mengeja.
Terdengar asing di telingaku, seperti bukan suara manusia biasa. Bola
matanya berputar dengan sorot yang membuatku semakin tak
mengerti
oleh rasa yang mendadak datang.
“ Aku mengerti mengapa namaku tercantum
dalam ponselnya. Itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi memang telah
direncanakannya! Aku adalah orang yang akan beruntung dikasihani
oleh orang baik sepertimu “ ucap wanita tak memandangku.
Belakangan ini aku sering dikejutkan oleh oleh rasa ngeri. Namun jawaban atas
diri Sofia membuatku melupakan semua itu. Wanita itu mulai
tersenyum. Makin lama senyum itu makin
melebar sehingga giginya kelihatan dan wajahnya makin terlihat
bersemangat.
Lalu ia tertawa manja. Rino menatapku dengan tajam. Seolah-olah ingin
menerkamku tiba-tiba. Aku tahu kerisauan yang dirasakan olehnya denga ucapan
Sofia. Sejatinya Kak Rino masih berharap. Namun aku telah merampasnya.
Rino menarik tanganku untuk segera
berlalu dari situasi yang mencekam itu. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup
rapat. Aku terseok-seok mengikutinya dari belakang. Tangannya terasa dingin dan
gemetar dalam genggamanku.
“ Apa yang
sebenarnya terjadi. Kenapa kamu menutupinya dariku “ ucap Kak Rino yang kecewa
padaku.
“ Kak, aku juga
tidak mengerti dengan perasaan ini. Aku menyayangi Sofia, kak “ ucapku sambil
menunduk.
“ Ya sudahlah.
Jaga baik-baik Sofia. Kondisinya tidak stabil “ pintanya sambil menarik
tanganku masuk kembali ke kamar perawatan Sofia.
AKHIRNYA, TERJAWAB
Waktu yang telah
memberikan sebuah jawaban. Akhirnya Sofia didiagnosa menderita kangker otak.
Dia lumpuh dan hanya terbaring dia atas ranjangnya. Sesuai janjiku yang akan
menjaga Sofia, aku menikahinya dan akan selalu menjaganya dengan kasih sayang.
Perusahaan hasil
kerja ayah kandungnya Pak Anton yang telah dibesarkan oleh kak Rino pucuk
kepemimpinan diberikan kepadaku. Dengan begitu beratnya aku menerima. Sementara
kan Rino pergi ke Paris untuk menyelesaikan study S-2 manajeman. Dia
meninggalkan sebuah harapan atasku untuk menjaga Sofia dan perusaan dengan
baik. Untung selama ini aku selalu setia mendampingi kak Rino dalam menguruskan
perusahaan ini, sehingga aku tidak terlalu kesulitan melanjutkan kerja Kak Rino
sebagai pimpinan.
Malam yang
menyesakkan buatku. Sofia pergi dengan sejuta mimpinya untuk mendapatkan seorang
anak dariku. Sang pencipta tanpa pemberitahuan dan begitu tiba-tiba mengambil
ruh dari tubuh yang terlihat seluruh tulangnya hanya terbungkus kulit saja.
Keadaan yang meprihatinkan untukku, sementara aku tak ada disisinya ketika
sakaratul maut menjemput. Aku sedang melakukan presentasi dengan klien di Bali.
Aku merelakan kepergiannya
dengan sebuah do’a untuknya. Semoga yang kuasa mengampuni segala dosanya dan
menempatkan dirinya di tempat yang mulia disisinya.
Kesepian mencekam
setiap malamku. Kepergiannya telah membuat aku merindukan kehangatan seorang
wanita menemani hari-hariku. Aku berusaha untuk setia kepada Sofia, namun
semuanya tidak seperti yang kukira. Setahun setelah kepergiannya, aku menikah
lagi. Dari pernikahan ini aku dikarunia dua orang anak perempuan.
Kak Rino Menikah
dengan gadis dari Medan. Dia wanita kenalannya yang bertemu di pesawat saat
pulang dari Amerika. Dari pertemuan itu menjadi dekat hingga empat bulan
kemudian menikah. Kak Rino dikarunia seorang anak laki-laki.
Kak Rino meninggal
dunia akibat kecelakaan mobil tiga bulan yang lalu. Setelah dia meninggal aku
mendapati sebuah kebenaran. Rino dan Sofia adalah anak Lisa atau Vera. Bayi
yang ditinggalkan Lisa didepan rumah Pak Anton, yang kemudian diangkat menjadi
anaknya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar