Senin, 28 Oktober 2013

Mujtahid, S.Pd ( Guru Bahasa Indonesia )






 

KATA PENGANTAR



Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rat, Taufik dan Hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga dalam penyusunan dan imajinasi Novel “ Seraut Wajah Senja   akhirnya selesai.
Wujud adanya keyakinan memberikan motivasi kita untuk memenuhi  sebuah tugas  dengan sungguh-sungguh, akan tetapi menjadi seoRang penulis adalah wujud kita begitu dekat dengan sastra, bukan hanya sekedar mendapatkan pengalaman tetapi lebih jauh lagi untuk mengasah kemampuan kita mengeksplorasi kemampuan berpikir dan berimajinasi serta menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan kemampuan untuk berpikir, dan ucapan terimakasih tak terhingga penyusun sampaikan kepada Dosen yang telah memberikan bimbingan sepenuh hati kepada kami sehingga pemahaman tentang Ilmu Pengetahuan bahasa dan sastra  Indonesia tidak semata kepada teori saja, tetapi aplikasi atau praktek sebagai seoRang penulis. Sehingga pemikiran bisa berkembang dengan baik dan selaras dengan tuntutan pembelajaRan Prosa Fiksi dan Drama.
Besar harapan penyusun Novel ini bisa menjadi koreksi terhadap kemampuan penyusun dalam menuangkan sebuah imajinasi dalam tulisan. Atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.
Wassalam,
 Penyusun

Seraut Wajah Senja
Oleh
Mujtahid



Penerbit
FKIP Bahasa & Sastra Indonesia Unigal Ciamis
Cetakan ke I Januari 2012







Tentang Penulis

Mujtahid adalah nama pena dari Arizta Mozta. Lahir pada tanggal 9 Juli 1981di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah sebagai petani, satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Cerita yang membuatnya terbiasa dengan kekurangan dan hidup apa adanya menuntunya lebih arif dalam menjalani hidup.  Sejak menyelasaikan pendidikan tingkat atas, yang dimulai dari bangku Madrasah Ibtidaiyah 02 Salebu Majenang dilanjutkan ke MTs Pesantren Pembangunan Cigaru Majenang dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Diponegoro Majenang. Keinginannya untuk menggapai cita-cita sebagai pakar Matematika membuatnnya ingin melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi di Yogyakarta diimbangi dengan pendidikan dipondok pesantren Assalafiyah, Mlangi Gamping Yogyakarta. Keterbatasan biaya membuatku harus mengubur mimpi itu dalam-dalam, setelah terjadinya insiden kecelakaan , ketika motorku diterjang bis cepat di ring road barat. Akhirnya selama setahun aku menuntut ilmu dipsantren sambil bekerja di salah satu perusahaan funiture dari ukiran kayu jati, didaerah Selman Yogyakarta.
Ketika Sekolah, aku selalu aktif diberbagai organisasi seperti ketua ambalan Pramuka, pengurus OSIS, teater, karate, Ikatan Remaja Masjid (IRM), Dewan Kerja Ranting Pramuka, Karang Taruna. Dalam berpolitik juga sempat menjadi pengurus salah satu partai besar sebagai orientasi pemenangan pemilu tingkat kecamatan, Aktif sebagai penyiar radio baik di sekolah sendiri ataupun radio swasta, Menjadi tenaga honorer di Madrasah, Menjadi marketing di salah satu perusahaan pemanas air tenaga matahari di daerah Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur, dan  berwiraswasta di Bandung.
Keinginan untuk membina sebuah keluarga dengan kemampuan sediri, menuntunku mengambil pilihan sebagai TKI ke Malaysia sebagai Desain ruang dalaman ( Design Interior Concept) selama dua tahun. Namun nasib berkata lain, mimpi untuk menjadi orang sukses lebih membuatku memilih untuk melanjutkan kuliah, dengan modal yang hanya untuk 2 sampai 3 smester aku beranikan diri mendaftar di Universitas Galuh Ciamis. Selain Matematika, sastra adalah nafasku. Kinginan untuk mendalami sastra membuatku memilih bahasa dan sastra indonesia sebagai pilihan, selain itu aku juga menjadi tenaga honorer di MI ma’arif 02 Salebu majenang hingga saat ini.
Keinginan menjadi seorang penulis benar-benar tersalurkan di kampus Unigal Ciamis. Lomba pementasan Drama menjadi tonggak pertama untuk mengibarkan panji-panji seni yang kumiliki. Dengan bekal menjadi pembuat Skenario dan menjadi sutradara akhirnya Drama yang berjudul Insyaf  di daulat menjadi drama terbaik dan sekaligus sutradara terbaik.
Tidak berhenti sampai disini, karena dalam pembuatan buku puisi yang diikuti oleh seluruh mahasiswa tingkat dua dari delapan kelas, aku juga ikut menyumbang satu penghargaan sebagai puisi religi terbaik ke tiga. Aku semakin mantap berdiri dengan kedua kakiku untuk menapak dunia seni dan sastra tanpa ragu.


Daftar Isi

1.    Kata Pengantar                    1
2.  Halaman Judul                     2
3.   Tentang Penulis                    3
4.   Daftar Isi                                4
5.    Lukisan Yang terbungkus    5
6.    Ada Apa Dengan Dia            8
7.   Kenapa Sofia Disini             14
8.   Ada Apa Dengan Sofia         20
9.    Aku Ada Untuknya              22
10.  Cari Pengganti Sofia            26
11.  Serba Kebetulan                    29
12.Paket Misteri                         34
13. Menguak Sebuah Rahasia    37
14. Apakah Sebuah Tanda         40
15.  Foto dan Ijazah Itu               50
16.  Dibalik Kematiannya          57
17. Anak Yang Terbuang            62
18. Demi Hatinya                        67
19.  Sakit, Dia Sakit                   69
20.                                                                                Selamat Jalan Lisa      72
21.Hakikat                                 76
22.                Akhirnya Terjawab              80




LUKISAN YANG TERBUNGKUS

Sofia Nafisa wanita cantik berparas lembut laksana bulan purnama menyambut dinginku. Menyentuh keindahan sang qolbu dalam nuansa yang tak terlukis kata, memberi sejuta janji manja. Keindahan malam yang terenggut pagi. Dibalik sikapnya yang menyebalkan hingga setiap orang menganggapnya laksana bunga yang beracun dan berulat. Namun aku menganggapnya sebuah keindahan yang menyimpan sejuta makna yang tersirat. Dia tetap mengisi relung jiwa ini dengan cinta
Kami berjalan cepat menuju toilet begitu mendapat laporan dari satpam kalau Sofia  ditemukan pingsan di sana.Di depan toilet sudah berkerumun beberapa orang pegawai yang berusaha merangsek masuk, mereka melihat suasana itu layaknya sebuah pemandangan yang membangkitkan keinginan. Melihat kami datang, mereka menyeruak ke samping untuk
Memberi aku jalan.Di bawah sana, di dekat wastafel, tergeletak sosok wanita yang mengenakan kaos putih dengan syal berwarna merah hati. Sofia  dalam keadaan taksadarkan diri. Sisa-sisa muntahan tampak berceceRan, mulai dari wastafelhingga lantai di mana ia tergeletak. Aku berlutut untuk memeriksa keadaannya.
Nadinya berdenyut lemah saat kusentuh lehernya yang tertutup syal itu, lalu aku melepaskanya. Sepertinya dia dalam keadaan pingsan“Panggilkan ambulans! Cepat terikku yang memecah kesunyian  pada kerumunan pegawai yang berdiri mematung di depan pintu.
Aku memangku kepala Sofia agar posisinya lebih tinggi, supaya ia dapatbernapas dengan baik. Seorang wanita setengah baya membawakan minyak angin yang disodorkan kearahku. Segera kuoleskan pada bagian bawah hidung dan pelipis Sofia untuk
memberikan rasa dan aroma hangat. Kupijat-pijat juga lengan dankakinya agaria terjaga. Tetapi, gadis itu tetap tak sadarkan diri. Dahinya benjol dan darahsedikit mengalir dipelipisnya, mungkin karena terbentur saat jatuh tadi.
Bos kami datang dengan tiba-tiba di toilet itu. Membuat kerumunan
pegawai buyar dalam hitungan detik. Aku  menengadah ke arahnya. Wajah lelaki yang juga sepupuku itu kelihatan datar-datar saja memperhatikanbagaimana Sofia terkapar. Seakan-akan ia tidak pernah perduli dengan kondisi wanita itu, karena sebelum kejadian itu, Sofia keluar dari ruangannya beberapa saat yang lalu. Memarahinya habis-habisan, lalu menjatuhkan surat peringatan keempat padanya tanpa ampun.
Ya. Sofia baru saja menerima vonis yang membuat dirinya harus terlempar dari perusahaan ini, dia dipecat tanpa pesangon. Ini merupakan keputusan final perusahaan terhadap wanita berusia 27 tahun atas segala prestasi yang di anggap tidak memuaskan selama bekerja di perusahaan ini.
Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang. Aku berharap Rino sebgai bos akanmengatakan atau menyatakan sesuatu atas perkara ini. Tetapi, seperti yangsudah kuduga, ia diam saja memerhatikan bagaimana kami berjalan tergesa disisi brankar yang membawa Sofia di atasnya. Kami ikut masuk ke dalamambulans untuk mengurus keperluan Sofia ketika di rumah sakit.


ADA APA DENGAN DIA

Berawal dari sebuah kejadian yang sama sekali membuatku bertanya-tanya. Kebiasuanku tak mampu membuka sebuah tabir dari sebuah kenyataan yang tiba-tiba muncul menyapaku
Aku tidak tahu apakah karena Rino masih menyimpan kekesalan yang begituluar biasa pada seorang Sofia yang begitu setia mengabdi dan bekerja untuk perusahannya, dengan segala upaya atas segala kekurangannya, atau karena memang watak aslinya demikian sehingga Rino tampak begitu tega di mataku. Dia adalah kakakku yang selama ini kuhormati dan selalu menasehatiku dengan petuah-petuahnya. Namun saat ini aku seperti melihat sosok yang penuh rekayasa kelembutannya hilang saat itu juga oleh sebuah kata yang bernama harga diri. Tapi, kalau dipikir-pikir, Sofia memang keterlaluan. Ia telah membuat Rino kecewa karena menepikan curahan perasaan cintanya, padahal selam ini kak Rino jarang jatuh cinta. Kekecewaan seorang lelaki yang menganggap dirinya adalah istimewa yang kemudian tidak dihargai sama sekali.
Oh, ya, ampun... betapa marahnya dia. Aku bisa mengerti betapamarahnya diasaat ku lihat pada hari Jumat kemarin. Ia sudah sampai di Hotel Borobudur pada pukul 8 malam. Ia terpaksa beRangkat hari Jumatmalam dari Ciamis karena penerbangan pada Sabtu pagi sudah penuh.Dia ingin didampingi oleh sosok Sofia. Wanita yang meracuni hatinya dengan sejuta harapan hampa. padahal esoknya ia harus mengisi acara presentasi pada sesi kedua di Ciamis.Aku bisa membayangkan kemarahannya. Rino baru saja tiba dari Singapura,belum sempat pulang ke rumah. Ia sudah harus pergi menyelesaikan pekerjaannya. Ia lelah, tapi masih memiliki semangatuntuk menyelesaikan pekerjaanya, demi sebuah profesionalisme. Tetapi, apa yang diperolehnya adalah kekacauan.
Sofia adalah sumber kekacauan yang telah membuat lelaki tampan itu tidak berguna.
Sebenarnya watak asli kak Rino tidaklah sekasar itu. Ia lebih menjurus untuk selalu bersikaptegas, serius, dan memegang tinggi komitmen. Tak heran, di usianya yang baru 27 tahun, ia sudah memiliki semuanya. Investasi, prestasi, dan prestise. Ia memiliki jaringan perusahaan untuk bisnis properti dan bisnis hotel yang tersebar diseluruh negeri. Serta sebuah perusahaan pabrik tebu warisan ayahnya yang
menjadi cikal bakal perusahaan kami sekaRang ini. Rino bukanlah tipe oRang yang cukup sabar. Ia menginginkan semuanyaberjalan dengan cepat, tepat, sesuai kesepakatan bersama. Karena pada hakekatnya dia sebenarnya orang yang sangat menghargai oRang lain. Ia tidak akansenang, jika ada sesuatu yang keluar dari komitmen itu. Lebih-lebih, jika tidakbisa memberikan alasan yang masuk akal, dan Sofia sudah melewati batas kesabarannya. Bukan sekali ini Rino sudahdibuat keki oleh wanita itu. Tiga bulan lalu, ia hampir gagal menggelarpameRan bisnis properti di Malang karena tidak mengantongi izin dari pihakpemdasetempat. Padahal, Rino sudah menandatangani proposalnya tiga bulansebelumnya. Setelah diselidiki, ternyata file itu masih tersimpan di laci meja Sofia, tertumpuk berkas-berkas lain yang tidak berguna.Kami juga pernah kena denda besar dalam perpajakan karena terlambat setor. Pangkal masalahnya, berkas itu tidak sampai ke tangan bagian akunting untukdiserahkan ke kantor pelayanan pajak. Usut punya usut, Sofia  menghilangkannya. Ia tidakingat di mana terakhir kali ia meletakkan berkas penting itu. Yang jelas, ketika kamibantu mencarinya, amplop itu tidak pernah ada. Jadi, terpaksa kami lembur
untuk mengerjakan sekali lagi. Dan kena denda, tentunya. masih ada beberapa kesalahan yang membuatnya menjadi makin parah didepan kami. Sofia kerap menghilang di antara jam kerjanya. Jika melewati hari
libur panjang, maka ia akan menambah dua hari ekstra berikutnya dengan alasan tidak mendapat tiket. Jika Rino marah, dengan mudah ia akan bilang maaf dan maaf. Rino pun tidak bisa berbuat apa-apa karena memang dia menaruh hati pada wanita itu, atas dasar apa cinta itu tumbuh, sampai saat ini Rinopun tidak memahaminya.
Akibat perangainya itu menjadikan hambatan besar bagi kami rekan sekerjanya.Terutama jika ada hal-hal yang membutuhkan hubungannya dengan Rino yangtidak selalu berada di tempat. Jika Sofia sedang ’kumat’ begitu, maka akulahyang akan dijadikan sasaran mereka untuk menghubungkan mereka dengan Rino dan kedekatanku dengan Sofia. Setiap  mengerjakan pekerjaannya yang amburadul, tentunya.
Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan Sofia mampu bertahan di sinisedangkan hampir semua rekan kerjanya sudah tidak welcome terhadap kehadirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dihadapkan pada tekananpsikologis yang begitu kuat seperti itu masih bisa melenggang tenang mengenakan baju seragam kerja kebanggaan: blus  putih dengan kerah pink, rok hitam, dan blazer-blazer
yang modis. Dengan make up yang tidak terlalu menor namun wanita itu terlihat sangat anggun hingga membuat bosnya jatuh cinta. Aku sendiri tak munafik menaruh hati padanya. Sofia tampak percaya diri sekali. Masalah antara dirinya dengan kantor ini seakan tidak mengganggu moodnya untuk bekerja. Kalau bukan bebal, maka pastilah ia bermental baja. Tetapi aku melihatnya sebagai wanita yang istimewa, walaupun kadang sikap dan sifatnya menyebalkan, tetapi sebenarnya itu semuanya kerena keluguannya.
Kami menunggu perawatan Sofia cukup lama sampai ia sadar sekitar pukul setengah tiga sore. Gadis itu demikian lemah saat membuka matanya yang tatapannya kelihatan kosongmemandang ke arah langit-langit. Sofia diam seribu bahasa seakan-akan mulutnya telahterkunci rapat. Aku menghela napas hampir bersamaan dengan Bu Marta. Wanita yang begitu menyayangi Sofia seperti anaknya sendiri. Dia bekerja diperusahaan ini sejak Rino dan aku masih kecil, makanya Rino begitu hormat padanya Ia pasti sedang mengalami shock yang luar biasa.Akhirnya aku dan Bu Marta berbagi tugas. Aku ke rumah Sofia untuk mengambilbeberapa helai pakaian dan barang-barang pribadi yang dibutuhkannya, sementaraBu Martasetia menunggui wanita itu sampai aku kembali.
“Apa pun yang bisa menghubungkan kita dengan keluarganya harus kautemukan,“ itu pesan Bu Marta padaku.
Aku mengerti, oleh sebab itu aku harus bergegas menuju apartemen tempatSofia tinggal. Memang agak mengherankan kalau sekretaris berprestasi kurang baik seperti Sofia mampu tinggal pada sebuah apartemen mewah sekelas Apartemen High Class. Ini semua Rino yang mengaturnya. Yah , memang ini semua karena perasaan dan kedekatannya dengan Bu Marta. Sebuah catatan masa lalu yang mungkin telah tercipta diantara Bu Marta, Pak Anton atau siapa saja yang terlibat dalam keluarga ini. Namun aku dan kak Rino tak berani membuka sebuah pertanyaan untuk mengungkap sebuah kebenaRan.


KENAPA SOFIA DI SINI ?

Sebuah tempat yang menjadi simbol kemewahan dan ciri orang dikatakan mapan dan mampu. Tempat yang selam ini memberikan kesaksian kepada aku dan Kak Rino harus berdebat dengan pendapat sendiri. Ada apa dengan tempat ini. Mengapa sekretaris papah dari dulu selalu disini, hingga Sofia.
Keajaiban waktu yang memberikan simbol-simbol peperangan kepada sebuah keyakinan tetap tak menolong hati ini untuk mengeti. Anggaplah itu tak penting saja.
Sebuah koordinasi yang tersusun rapi di mana untuk memasuki apartemen itu saja harus melewati barisan pengamanan yang begitu ketat, karena di apartemen seperti di hotel-hotel bintang lima. Bukannya berburuk sangka. Sebesar apa pun gaji Sofia, rasanya belum cukup layak untuk tinggal di tempat mewah seperti ini. Sebuah pertanyaan yang sinis memandang keadaan Sofia. Namun ini sebuah realita, perusahaan ini yang menanggungya. Seberapa besarpun kebutuhan Sofia.
Apartemen yang ia tinggali mirip dengan hotel. Ada lobi, restoran, children ground dan taman, salon & spa, juga tempat mini market. Langkah kakiku perlahan menuju resepsionis yang sudaht ersenyum padaku saat aku berjalan ke arahnya. Dengan ramah ia memperkenalkan dirinya, lalu menanyakan maksud kedatanganku.
Sudah pasti aku berterus terang mengharapkan bantuan mereka agar dapat masuk ke dalam apartemen Sofia. Karena ketidak laziman ini, aku harus menjalani beberapa prosedur ruwet yang akhirnya mempertemukan aku dengan manajer pengelola yang bertugas saat itu. Aku harus mengulang kembali ceritaku sebelum akhirnya diizinkan membuka pintu apartemen Sofia didampingi manajer pengelola itu dan seorang anggota sekuriti yang berbadan kekar dengan kumis tebal dan berjalan tegap dan menampilkan karakter galak, entah dibuat-buat atau memang sudah aturan perusahaan.
“Bu Sofia sakit apa, Pak?” Pak Hardi, manajer yang mengawalku, bertanyaketika kami berada di dalam lift.
“Kurang tahu, pak.Karena masih diobservasi. Hasil laboratoriumnya juga belumkeluar. Saya diminta mencari keluarganya, Pak.”jawabku
“Oh, begitu. Mungkin agak susah juga bagi anda,” di luar dugaan, Pak Hardimengatakan sesuatu yang mengejutkanku.
“Mengapa demikian?”ekspresiku agak bingung.
“Selama tinggal di sini, kami hampir tidak pernah melihat Bu Sofia kedatangan tamu. Beliau juga menutup diri dengan para penghuni apartemenlainnya. Sama seperti teman-temannya yang terdahulu.”
“Teman-temannya terdahulu?” aku mengerutkan alis, lebih bingung lagi dengan yang diucapkan.
Pak Hardi tersenyum sopan seraya mengangguk.
“Para sekretaris almarhum Pak Anton memang tinggal di sini. Ada tiga seingat saya. Bu Lisa, Bu Vera, dan terakhir Bu Sofia.”
Oh, ya, ampun… aku pura-pura tidak tahu. Maklum saja karena aku anak angkat, bukan anak kandung. Memang ada rumor miring mengenai kehidupan ayah. Wajahnya memang tampan, bertubuh tinggi tegap. Ia adalah mantan pensiunan tentara yang sukses membuka usaha pabrik tebu. Penampilannya flamboyan,dan suka sekali pada wanita -wanita cantik dan bertubuh seksi. Sangat berbeda dengan kak Rino yang keras, tegas, dan fokus pada segala hal yangmembuatnyasukses di usia yang belum mencapai tiga puluh tahun.
Aku tidak tahu mengapa mereka berdua begitu berbeda. Kak Rino sangatbersemangat, sedang ayahnya angin-anginan. Rino penganut klan jomblo,ayahnya adalah seoRang casanova. Atau mungkin karena Rino anak angkat Pak Anton? Tapi, anehnya, kalau memang Rino seorang anak angkat, mengapa wajah dan perawakannya demikian mirip dengan Pak Anton? Kecuali kulit Rino lebih putih dibanding kan ayah yang mantan tentara itu. Memang ayah tidak mempunyai anak kandung, tetapi Rino dan aku sudah dianggapnya sebagai anak sendiri oelh ayah.
Pintu terbuka. Aroma pengap langsung menyerbu keluar menandakan ruanganini kurang mendapatkan udara segar, atau jarang dibersihkan. Pak Hardi danaku masuk ke dalam, sedangkan petugas sekuriti itu berdiri di ambang pintu.
Aku berjalan ragu-ragu sambil memperhatikan keadaan yang menurutku tidaknyaman karena keadaan cukup gelap. Pak Hardi menyalakan lampu. Sekarang aku bisa melihat jelas pada apartemen yang ditata minimalis ini. Sayangnya,berantakan sekali. Piring dan gelas kotor tergeletak asal saja di atas meja, rakteve, dan meja telepon. Tisu bekas berserakan.
Pak Hardi kemudian mengarahkan aku ke ruang tidur Sofia. Ternyata sama saja berantakannya, dan terus terang membuatku malu memandang dia sebagai seorang wanita. ranjangnya acak-acakan, bantalnya digulung oleh bed cover yang menjuntai kebawah Ranjang. Baju-baju kotornya jugabergantungan di kapstok. Handuk,sandal jepit, dan kimononya berserakan di atas lantai.
“Silakan, Pak, saya menunggu di sini saja,“ dengan sopan Pak Hardi keluar mempersilahkan aku masuk.
Mungkin ia tidak mau aku terlihat kikuk dengan keadaan yang porak- poRandaitu. Aku berterima kasih padanya.
Kupungut handuk dan kimononya, lalu kuletakkan pada sebuah emberdi kamarmandinya yang terlihat kotor dan berantakan. Demikian juga dengan baju dalamnya yang tergantung pada shower,kupindahkan ke dalam ember yang sama. Kubuka lemari bajunya yang sama
berantakan isinya. Sungguh mengherankan, ada seseorang yangsedemikianjorok.padahal penampilannya terlihat modis dan anggun, apa yang terjadi dengan Sofia sebenarnya, banyak pikiran dan prasangka yang berkecamuk dibenakku.
Kuambil pakaian dan baju dalam seperlunya. Lalu kutarik sebuah travel bagdari atas lemari yang segera saja menebarkan debu yang membuatku terbatukbatuk. Kotor sekali tempat ini. Aku terpeleset jatuh bersama travel bag itu beberapa berkas yang langsung bertebaran
di atas lantai.
Pak, tidak apa-apa?“ Pak Hardi melongok. Ia lalu tersenyum canggungmelihatku mengibas-ngibaskan tanganku ke udara untuk menghalau debu.Dengan penuh inisiatif, lelaki itu meraih remote dariatas meja rias danmenyalakan AC untuk menetralkan hawa yang kuRang nyaman ini.
Pak Hardi kemudian menyodorkan sebuah blister obat yang sudah kosong yangdiambilnya dari meja rias. Exelon, itu yang terbaca di antara kepingan bungkus aluminium yang bisa kubaca.
“BaRangkali diperlukan, Pak”  ujarnya, sopan.
Berkas-berkas yang berserakan itu juga kumasukkan kembali dalam sebuah mapyang ikut terjatuh, lalu kujadikan satu ke dalam travel bag. Setelah semuanyakupandang cukup, aku dan Pak Hardi sama-sama menandatangani suratpernyataan serah terima barang dari apartemen Sofia. Sayangnya, aku tidak menemukan laptop atau PC yang dapat kuambil datanya.


ADA APA DENGAN SOFIA

Pelangi begitu indah, seasaat setelah hujan mereda dia mengintip dibalik awan dengan menawarkan aneka warna yang memercikan kekaguman kepada keindahan yang dicipta Sang Kuasa. Sementara awan putih terus berkonvoi. Berjalan begitu kompak dari arah barat ke timur, yah bukankah bumi ini yang berputar pada porosnya menurut ahli geologi.
Ketika sore itu aku tiba kembali ke rumah sakit, aku dikejutkan oleh lapoRan Bu Marta mengenai keadaan Sofia saat kutinggal tadi. Katanya, Sofia berteriakt-eriak histeris seperti oRang gila. Sofia tidak dapat mengendalikan dirinya sampai ia harus dipegangi banyak oRang. Ia tidak mengenali Bu Marta yangberada di dekatnya. Bahkan, ia tidak mengenali dirinya sendiri.
“Dia terus meminta cermin dan mengatakan ingin kembali... ingin kembali.
Tidak tahu mau kembali ke mana. Sudah kayak gini, Ran,“ cerita Bu Marta,sambil menyilangkan telunjuknya di dahi untuk memberitahuku.
Aku merasa tidak enak seketika. Apakah ia ingin kembali bekerja? Vonis Rino atasnya merupakan pukulan telak yang bisa menghabisi jaminan masa depannya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sekretaris dengan kategori lemot begitu, Sofia memiliki gaji besar. Hampir setara dengan gaji manajer senior!” ucapku membuat Bu Marta bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana, Bu?“ tanyaku tidak enak melihatnya seperti mau kabur begitu.
Wanita berusia lima puluh tahun itu tertawa. Ia mengatakan harus kembali kekantor karena Rino mendesak segera ke kantor. Bu Marta juga mengatakan, Rino akan menyusul ke rumah sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.


AKU ADA UNTUKNYA

Semuanya seperti tak perduli melihat keadaan Sofia. Instingku yang selalu menuntunku untuk selalu dekat dengannya dan menjaganya membuat aku seakan menjadi bagian apa yang dirasa olehnya. Lalu aku ditinggal sendirian.
Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Sofia. Mengatur bajunya di loker kecil di bawah mejanya,menebus beberapa obat di apotek dan beberapa administrasi lainnya yangcukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini sampai akhirnyasemuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk beristirahat pada sebuahkursi di depan kamar Sofia.
Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma parfum yang amat kukenal
menebar harum di sekitarku. Rino berjalan mendekat dengan gayanya yangkhas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia tidak mengenakan parfumnya, pasti aku tidak akan menyadari kehadiRannya. Tanpa bicara,
diletakkannya sekotak makanan yang dari etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.
Ya, ampun... aku baru sadar betapa perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy... oh, yummy... yummy!
Saat aku tengah asyik makan, Rino sudah balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus Alpuket dengan float es krim vanilla. Enak, sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau aku menikmatinya disebuah taman bunga dengan Sofia. Rino ada di dekat wanita muda itu. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku. Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya. Selain itu aku harus bisa menutup dalam-dalam perasaanku atas Sofia.
Ia memandangku dengan ekspresi datar saja.
“Makanlah. Jangan berhenti karena aku ada di sini,“ katanya dengan nada rendah kepada Sofia sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak nyaman memperhatikan beef teriyaki dipangkuanku yang masih separuh itu. Aroma minyak wijen dan saus Kikkoman yang bergelimang di antara irisan daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!
“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?“ kata kak Rino kepada Sofia.
Wanita itu tetap diam seribu bahasa, sepertinya muak melihat lelaki tampan dihadapannya.
Makin tidak menyenangkan saja. Separuh menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.
“Tidak juga... perutku masih beradaptasi setelah sekian lama kosong,“
jawabku. Betapa mencekamnya keadaan ini. Padahal dia adalah Kak Rino. Lelaki yang kuanggap seperti kakak kandungku sendiri.
“Puasa?“ tanya kak Rino
Aku mengangguk.
“Kau persis Almarhum ibu,“ ia menyebut almarhumah ibu tanpa ekspresi.
Rasanya acara makanku memang harus selesai. Seleraku lenyap seketika. Apa karena kami mencintai cewe yang sama. Cewe cantik pembuat masalah.
“Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Sofia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?“ Rino bersandar pada bangku, lalu menoleh padaku, “Kaupercaya itu?“ tambahnya
Mengapa tidak? Dalam batinku menjawab. Seseoang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Sofia, tidak hanya bisa menjadi histeris karena stres. Mungkin ia bisa juga nekat bunuh diri.
“Keluarganya sudah diberi tahu?“ Rino kembali bertanya. Aku cepat-cepat menggeleng.
Kuceritakan pengalamanku tadi siang bersama Pak Hardi dan menjelaskan keadaan Sofia selama bermukim di apartemen itu. Rino mengerutkan alisnya.
“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku tidak mau diganggu oleh keadaan wanita itu lagi. Tapi aku berharap Sofia bisa berubah. Aku muak dengan semua ini ucapnya lagi
Aku menatapnya takjub. Betapa tidak berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah kakaku!


CARI PENGGANTI SOFIA

“Sofia sedang sakit…,” aku hanya berusaha menyindirnya karena Sofia bias seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman sikapnya.
“Kita harus bisa segera kembali fokus ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Marta mencari penggantinya dalam minggu ini. Atau….”
“Atau apa kak?”  tanyaku
“Kau carikan pengganti Sofia.”
Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku atau Bu Marta, apabila terjadi sesuatu pada Sofia. Setelah itu, aku menyusul Rino yang sudah berjalan lebihdulu. Itulah Rino, selalu bergerak cepat. Memberikan kesan terburu-buru.
Kami diam sepanjang perjalanan. Aku memang selalu merasa kurang nyaman,bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan dalam diriku. Sebab, disaat yang sama, ia adalah kakaku. Rino sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi saudara dan kapan menjadi patner kerja. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya bos di mana pun ia berada.
Sehingga, aku merasa ada jarak antara dirinya dengan kami semua.
“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama untuk bisa didatangkan, Ran,“ ia menatapku dengan pandangan menusuk.
“Tapi... saya harus mengurus gaji staf,“ aku memberi alasan.
“Bu Marta yang akan menanganinya.“
Sungguh keterlaluan. Ia sudah merencanakannya dengan baik sejak awal. Akumenjadi sebal sekali padanya. Aku hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin segera keluar dari urusan Sofia yang kinidibebankan padaku.
Kami tiba di depan rumahku pada pukul 21.30. Mbok Nah, pembantuku, segera berdiri dari duduknya di teras. Ia sedang menungguku. Hanya Mbok Nah yang tinggal bersama kami sekarang setelah Mama dan papah tiada. Sedang kedua saudara kandungku hidup dengan keluarganya masing-masing di Jakarta dan Makassar.
Rino menyapa Mbok Nah dengan ramah saat kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang sudah akrab dengan wanita tua yangsudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem untuknya. Menurut ibuku dulu,Rino kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi lebih baik setelah diberi jamukunir asem buatan Mbok Nah.
“Rino memandang berkeliling memperhatikan betapa sepinya rumah ini “ ucap kak Rino memandangi keadaan rumah besar yang kami tinggali.
Aku tidak membalas komentarnya itu. Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Rino tersenyum kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh. Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada setiap orang.


SERBA KEBETULAN

Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Sofia yang kudapat dari tasnya.
Sementara menunggu, aku mulai menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengeceke-mail. Karena tidak ada yang penting, aku kemudian mengeluarkan kertaskertasyang dijejalkan begitu saja ke dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah berumur lama. Aku segera memilahnya.Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok institusi, dua lembar darikelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah hasil sebuah laboratorium terkenal di Ciamis, dan yang lainnya adalah fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di Rumah Sakit di Bandung. Aku bisa membaca tulisan Exelon disitu, sama dengan bekas blister obat yang diberikan Pak Hardi. Resep itu dibuat beberapa tahun yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas lain yang sudah kusam kekuningan.
Semuanya adalah salinan ijazah dari Akademi Sekretaris dan Manajemen dan Komputer Purwokerto dalam kurung AECOM. Menilik dari tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan! Yang lebih hebatl agi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Lisa Subyastuti dan Vera Radhanti. Nama-nama mantan sekretaris Ayah dulu. Mereka semua disebutkan oleh Pak Hardi tadi siang. Dan mereka berasal dari sekolah yang sama. Betapa menakjubkannya, bahwa keduanya bisa berada ditempat yang sama dalam kurun waktu berbeda.
Rasa penasaran membuatku menjelajah di Google, menulis nama akademi yang dimaksud untuk mencari tahu. Sambil menunggu, aku memperhatikan dualembar foto. Yang satu adalah foto lama dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku mendadak ingat, foto yang sama juga tergantung di ruang kerja Pak Anton.Sungguh sebuah kebetulan berikutnya.Sedang yang lainnya adalah juga sebuah foto lama. Foto sekelompok wanitayang tengah berpose pada sebuah lesehan makan di kaki lima. Kuperkirakan tempat itu berada di Yogya juga. Pada spanduk yang menempel di belakang tempat makan kaki lima itu tertulis: ’Goedeg Toegoe Jogja’.
Tetapi, buat apa Sofia mengumpulkan foto-foto dan salinan ijazah lama?
Kuangkat kepalaku karena leherku menjadi demikian kaku. Kembali ke monitor dan aku kecewa. Pencarian atas nama akademi itu tidak berhasil. Kuketik nama AECOM untuk dijelajah. Kembali gagal. Aku makin penasaran. Apakah sekolahitu pernah ada atau tidak, ya? Kuketik lagi ternyata tidak keluar dan yang muncul nama sebuah yayasan sosial yang setelah kutelusuri ternyata milik perkumpulan penyantunan anak yatim piatu di Prancis.
Kok, jadi butek begini, ya? Kalau aku gagal mendapatkan sebuah petunjuk,maka Sofia akan mengacau pikiranku lebih lama lagi. Kuhirup teh manisku yang sudah mulai dingin. Mbok Nah kedengaran mendengkur halus dari atas dipan. Siaran tivi masih menyala dan kubiarkan saja. Jika kumatikan, maka ia akan segera terjaga. Aku sudah tahu kebiasaannya itu.Satu-satunya harapanku adalah pada ponselnya. Dari jenis smartphone yangcukup andal dan yang pasti mahal harganya. Beruntung pin pembukanya standar saja, 1274, jadi aku bisa masuk ke dalamnya. Yang lebih mengherankan, aku hanya menemukan lima nama dalam phonebook-nya. Untukseorang sekretaris yang seharusnya memiliki jaringan luas, Sofia benar-benar payah. Kelima nama itu adalah nomor Pak Hardi, Sisca, Rino, Bu Marta,dan aku. Aneh juga, seorang sekretaris seperti Sofia hanya memilki lima orang yang patut dicatatnya.Lelah menjelajah dan menerka-nerka menyadarkan aku pada waktu yang sudah sangat larut, pukul 02.25. Akhirnya kuputuskan untuk menulis e-mail pada Ardi, sales manager di wilayah Purwokerto dan Cilacap, untuk melacak keberadaan sekolah itu sebelum aku tidur. Aku berharap, Ardi bisa memberikan jawaban dengan segera.
Wajah Bu Marta tidak kelihatan heran melihatku sudah duduk di mejaku padapukul 7.30 keesokan harinya. Aku sendiri sudah berada di sana sejak setengah jam lalu. Terus terang, semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karenapenasaran. Aku perlu datang pagi ke kantor hanya untuk meminta izin Bu Marta membuka file para sekretaris.
Dengan cepat aku memeriksa berkas-berkas yang tersusun rapi berdasarkan abjad yang segera kucabut dari tempatnya. Afisya, Tere, Lisa, Vera, dan Sofia sendiri. Kelimanya kubawa ke ruanganku agar bisa menghirup udara bersih dari AC berteknologi nano itu.
Tanpa menghiraukan Bu Marta, aku mulai membuka berkas-berkas itu satu persatu. Dimulai dari Lisa Subyastuti. Lahir di Yogya, 5 Juni 1969. LulusAECOM tahun 1989. Bergabung dengan perusahaan sejak 1989 – 1994. Keluar atas permintaan sendiri. Alamat terakhir di Apartemen Cibodas Indah Ciamis.Theresia Susanti, lahir di Tabing, 15 April 1970. Lulusan YASMI Medan tahun1986. Bergabung dengan perusahaan sejak tahun 1994 – 1999. Mengundurkandiri setelah mengalami kecelakaan pada September 1999. Alamat terakhir di Perumahan Griya Kencana D/16 Ciamis. Kemudian Vera Radhanti. Lahir di Yogya, 5 Juni 1971. Lulusan AECOM tahun 1991. Bergabung dengan perusahaan sejak 19992004. Ia mengundurkan diri untuk menikah. Alamat terakhir yang tercatat, Apartemen Cibodas Indah Ciamis.
Yang keempat adalah Afisya Sanjaya, lahir di Malang 8 Agustus 1973. Lulusan Lembaga Pendidikan Profesi Jakarta ( LP2S ). Bergabung sejak 2004 – 2006.
Kariernya berakhir saat ia meninggal akibat keracunan gas karbondioksida darimobilnya sendiri. Ada kliping obituarinya pada sebuah koran tanggal 30 Maret 2006. Ia dikremasikan di sebuah krematorium di daerah Malang. Tempat kelahirannya.
Terakhir, Sofia Sumarno. Lahir di Yogya, 5 Juni 1976. Lulusan AECOM tahun1999. Bergabung sejak 2006 sampai sekarang. Apartemen Cibodas Indah menjadi tempat tinggalnya dan tidak ada keterangan lain.
Kuluruskan punggungku sambil memikirkan berbagai kebetulan yang kudapatidari data di tanganku ini. Bahwa Lisa,dan Veradan Sofia tinggal di apartemen yang sama, bersekolah di tempat yang sama dan Lisa dan Vera memiliki tanggal lahir yang sama, yaitu 5 Juni. Hanya saja berbeda tahun. Hebat sekali. Jadi, mereka berada dalam naungan bintang yang sama, dan mungkin juga memiliki sifat atau karakter yang sama pula. Betapa sebuah kebetulan!
PAKET MISTERI

Bunyi nada panggil dari ponsel mengejutkan kami berdua. Bu Marta menggeleng setelah memeriksa ponselnya. Aku pun tidak merasa bunyi itu berasal dariponselku karena nadanya berbeda. Lalu dari ponsel siapa karena kami hanyaberdua di ruangan ini? Aku jadi ingat. Ponsel Sofia! Aku membawanya di dalam Handisel!
Buru-buru kubuka komunikatornya dan berharap ada sebuah informasi baruy ang dapat kuperoleh. Ternyata sebuah SMS masuk dari nomor yang tidakt erdaftar. Isi pesannya sederhana:Paket sudah dikirim. Harga TO baru 15 juta.
Aku terdiam dan mulai berpikir. Paket apa dan dari siapa? TO itu apa? Target operasi? Kututup ponsel itu dan kembali ke berkas lima sekretaris yang anehini.
Aku mengamati Bu Marta yang masih memproses data gaji pegawai.
“Bu, maaf mengganggu sebentar.“ ucapku
“Nggak apa-apa, mau tanya apa, Ran?“ ia menjawabku tanpa menoleh.
Kemudian aku menanyakan seputar keanehan dua sekretaris Ayah yang berasal dari sekolah yang sama, dan tinggal di tempat yang sama. Kecuali Tere dan Afisya. Bu Marta mengatakan, mereka berdua memang direkomendasikan Pak Anton. Bahkan tinggal di apartemen milik pribadinya.
“Saya memeriksa di internet semalaman, AECOM -sekolah para sekretaris itu tidak ada datanya.“
Baru sekarang kulihat perubahan dari Bu Marta. wanita itu duduk menegak dikursinya untuk beberapa saat lamanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Dulu ia adalah staf personalia yang terpaksa mengerjakan tugas-tugas sekretaris bagi Pak Anton untuk sekian tahun lamanya. Itu dikarenakan Lisa dan Vera  tidak pernah melakukan tugasnya dengan baik.
Mereka lebih sibuk mencari perhatian bos yang flamboyan itu. Hanya Tere dan Afisya yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan benar. Sayangnya,mereka berakhir dengan cara menyedihkan..
“Sekalipun Pak Anton tahu betapa menyebalkannya mereka, beliau tidak pernah menegur keduanya.” Gerutuannya membuatku tercengang.
”Sebenarnya pak Rino ingin menggantikan Sofia. Pak Rino sudah tidak tahan bekerja dengannya, tidak seperti ayahnya.”
Aku merasa tidak enak dengan keadaan ini.
“Mengenai akademi itu, Bu Marta tidak pernah memeriksanya?“
Wanita itu menggeleng, ia kembali memunggungiku. Mengerjakan proses cetak slip gaji untuk seratus orang karyawan di sini. Aku menghela napas.



MENGUAK SEBUAH RAHASIA

Sebuah kejadian yang misteri jika setiap sekretaris selain Lisa dan Vera keluar dari perusahaan ini dengna cara tragis. Dalam benak setiap orang yang bekerja lama di perusahaan ini pasti menimbulkan sejuta tanya, namun apa kepentingan buat mereka, yang penting gaji lancar dan dapur ngebul, itu sudah membuat mereka leluasa dan nyaman bertahan di perusahaan ini.
Aku berusaha membuka tabir itu dengan mendatangi Tere,
Mba Tere mengalami kecelakaan apa?“ Tanyaku kepada mantan sekretaris ayah itu
Aku ditabrak mobil saat keluar dari kantor untuk makan siang. Penabrak nya tidak pernah ditemukan. Kabarnya ia lumpuh sekarang.“ Ada kegetiran dalam suaranya yang membuatnya terdiam.
“ Maaf sudah mengganggu “ aku pergi dan berpamitan dari rumahnya.
Kalau memang demikian adanya, maka aku memang tidak perlu menemuinya.Kehadiranku bisa jadi melukai perasaannya karena harus mengingat pengalaman terburuk dalam hidupnya. Makin ruwet saja masalah kecelakaan yang terjadi saat itu yang menimpanya.
Sebaiknya aku segera keluar dari tempat ini. Aku khawatir bertemu dengan Rino yang akan menanyakan progres pekerjaanku.Pak Handi, sopir perusahaan kami, sudah siap mengantarku ke rumah sakit.
Rupanya ia mendapat perintah langsung dari Rino untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Kembali aku mendengar nada SMS dari ponsel Sofia. Aku membukanya, dari nomor yang tadi.
Mana profil TO baru? Cepat balas.
Aq byk order.
Aku penasaran dengan orang ini, karena begitu bersemangat mengejar Sofia. Ia pasti memiliki sesuatu yang bisa berguna. Aku minta berhenti pada sebuahwartel saat kami melintas di daerah Praban. Aku ingin tahu, dengan siapasebenarnya Sofia berhubungan.Aku berdoa semoga ponsel itu tidak dimatikan. Sebab, aku tahu beberapa kasusyang berhubungan dengan kerahasiaan selalu menonaktifkan ponsel mereka agar tidak cepat terlacak. Tapi untungnya tidak. Aku mendengar nada tunggu berupa kicauan burung yang lumayan merdu sebelum akhirnya diangkat oleh seorang lelaki bersuara cempreng.
“Selamat siang, Pak. Saya saudaranya Bu Sofia….“ mengawali telepon.
“Salah sambung!” sebuah jawaban yang ketus terdengar, kemudian telepon ditutup dengan kasar. Aku tidak menyerah, kutelepon lagi nomor itu.
“Maaf, tadi terputus. Aplikasinya mau dikirim ke Ciamis, Pak atau…?” dengan asal aku menyebutkan alamat yang segera dipotong orang itu.
Pak, dengar, ya… saya ini Heriandi, teman Bu Sofia!”
Jantungku deg-degan. Heriandi. Nama yang sama tertera pada tiga tandaterima Sofia. Aku langsung menutup telepon itu. Buru-buru tutup telepon. Aku kembali ke mobil dengan semangat yang naik karena setidaknya ada seorang yang ‘nyata’ dalam masalahini. Pertanyaannya adalah apa yang dikerjakan lelaki itu untuk Sofia sehingga ia mematok upah begitu tinggi?


APAKAH SEBUAH TANDA

Dengan sedikit gontai aku berjalan setelah membuka pintu mobilku yang parkir di halaman rumah sakit.
Sampainya di kamar Sofia, aku masih harus menunggu Dokter Astria yang masih melakukan visit pasien. Aku mengunjungi Sofia di kamarnya diantar oleh seorang perawat. Aku melihatnya duduk di atas tempat tidur. Ia tengah berkaca pada sebuah cermin berbingkai plastik murahan yang mungkin dipinjamkan oleh salah seorang perawat.
Sofia menyentuh pipi, hidung, dan bibirnya. Ia memiringkan kepalanya ke kiridan kanan seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sorot matanya kosongke arah cermin, seakan-akan ia tidak melihat bayangan siapa pun di sana. Rambutnya yang kusut masai makin memperparah penampilannya yang menurutku tiba-tiba menjadi sangat aneh. Pipinya kelihatan menggantung pada wajahnya yang tirus. Tubuhnya juga begitu kurus seperti penderita kurang gizi.
“Halo, Sof,” kusapa dirinyadengan lembut.
Sofia tidak menanggapiku. Ia kembali memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan. Sesekali menyentuh kening dan pipinya dengan telunjuknya yang kurus.
“Sofia, ini aku, Ran. Kau ingat?“
Ia kembali tidak menghiraukanku. Perawat yang datang bersamaku mengajakku keluar dari sana dan memberikan keterangan bahwa Sofia sudah berkelakuan begitu sejak tadi malam. Mereka memperkirakan ia menderita depresi berat.
Aduh, mengapa menjadi makin rumit saja masalah ini? Bagaimana jika akutidak berhasil menemukan keluarganya?
Dokter Astria datang setengah jam kemudian. Aku diajak ke ruangannya untuk membicarakan masalah kesehatan Sofia. Dokter itu menyilakanku duduk dihadapannya, sementara ia membuka-buka file di hadapannya, mencari data Sofia. Aku memperhatikan beberapa sertifikat digantung dengan rapi pada dinding berlapis wallpaper bermotif bunga warna kuning dan merah muda dengan dasar hijau muda.
“Sudah bisa menemukan keluarganya?“ itulah yang pertama kali ditanyakannya padaku. Membuat perutku sebah saja. Aku menggeleng.Dokter Astria mengetukkan jarinya pada kaca meja dengan cepat.
“Saya harus menyampaikan kalau kondisi Ibu Sofia tidaklah baik. Hasil labnya buruk. Gula darahnya lebih dari empat ratus. SGOT-nya tinggi dan saya khawatir paru-parunya juga kena, jadi tadi pagi kami rontgen. Ada indikasi pembengkakan?“
Kugelengkan kepalaku. Pusing oleh kenyataan kalau Sofia begitu bermasalah.
Aku mengeluarkan blister obat dan fotokopi resep dari dalam tasku, lalu
menyerahkan kepada Dokter Astria. Wanita itu mengerutkan alisnya.
“Apa ada yang salah, Dok?“ aku merasa jauh dari harapan.
“Dari mana kau peroleh ini?“
Kuceritakan dengan singkat penemuanku kemarin di kamar Sofia.
“Resep ini benar, dokter yang mengeluarkan juga benar. Tetapi tidak boleh menebusnya dengan menggunakan salinan resep, apalagi fotokopi.”
Bagaimana aku tahu kalau Sofia sudah begitu menyalahi aturan? Dokter Astria tersenyum. Mungkin ia bisa merasakan kegundahan hatiku.
“Kau mungkin akan terkejut jika mendengar fungsi obat ini.“
Kejutan lain apa yang bisa membuat hariku bertambah buram?
ini  obat yang digunakan sebagai terapi penyembuhan penyakit jantung san saraf kronis.“
Aku terperangah? Aku menatapnya kaget.
“Mana mungkin? Sofia baru berumur dua puluh tiga!“ seruku tidak percaya.
Dokter Astria mengangguk. “Walau jaRang terjadi, kasus Alzheimer dapat terjadi di usia tiga puluh limaan. Jadi mungkin saja Sofia mengalaminya. Itu pula yang menjelaskan mengapa ia terseRang anoreksia karena salah satu efek pemakaian obat ini adalah menurunkan nafsu makan.“
Aku terenyak di hadapan dokter yang menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit Sofia. Seandainya tidak ada bunyi telepon masuk, mungkin ceramah dokter itu masih terus berlanjut dan membuatku makin bingung.
Dari Ardi. Dokter Astria menyilakan aku untuk menerima telepon itu.
“Ya, Ar? Sudah baca e-mail-ku?”
Kudengar tawa Ardi jauh di sana.
“Jam dua malam? Kau sama gilanya dengan kakakmu ya!”
“Sudahlah... ada info yang bisa kudapat?“
Ia menghela napas dalam-dalam.
“Kebetulan aku lagi di Yogya, sudah cari info sejak pagi tadi. Buruk, Ran.“ Ia terdiam sejenak, membuatku menjadi mulas oleh rasa tegang.
“Akademi Sekretaris dan Manajemen EECOM memang pernah ada, tapi itu jadul banget. Menurut cerita, sebenarnya sekolahnya cukup baik, tetapi ada konflik di yayasannya sehingga akhirnya ditutup pada awal ’70-an.
Mereka hanya sempat meluluskan satu angkatan saja.“
Satu angkatan? Ini mengejutkan, karena pada ijazah Vera dan Lisa dinyatakan lulus namun berdasarkan tahun kelulusan yang berbeda.
“Kau yakin?“
“Seribu persen. Aku mendapat info ini dari salah seorang agen besar kita, Bu Hilna. Beliau asli sini dan tahu seluk-beluk sekolah itu karena menjadi salah satu almamaternya.“
Perutku terasa kaku. Ada yang salah dengan ketiga sekretaris itu.
“Ar, aku akan kirim beberapa file padamu siang ini dan tolong dikonfirmasikan ke Bu Hilna segera. Kuharap malam ini sudah ada report-nya,“
“Tapi, aku harus balik ke Purwokerto siang ini.“
“Ar, please... jangan khawatir, nanti aku yang bilang ke Rino.“
Ardi tertawa, “Anything, Bos. Anything!“
Kututup ponselku dengan perasaan mengambang. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang sedang kami hadapi sekarang. Dokter Astria memandangiku. Sepertinya ia sedang memikirkan apa yang barusan aku bicarakan dengan Ardi.
Baru saja ia akan membuka mulutnya, tiba-tiba telepon ruangan berdering. Mengabarkan bahwa Sofia mulai berulah lagi. Kami bergegas kembali ke ruangan di mana Sofia dirawat. Saat itu, aku melihat sendiri bagaimana Sofia berteriak-teriak sembari mencakar-cakar wajahnya. Aku menjadi ngeri bagaimana kukunya yang panjang itu membuat bilur-bilur merah di wajahnya. Dua orang suster yang
memeganginya tampak kewalahan. Dokter Astria memintanya menenangkan diri namun sepertinya sia-sia saja. Aku tidak heran saat mereka memberikan obat penenang padanya agar bisa diam.
Sofia terkapar di atas kasurnya dengan lemah, mataya memandang liar ke sana sini. Keringat bercampur dengan darah dari bilur cakaran pada wajahnya menimbulkan kesan menyeramkan. Ia sama sekali tidak kelihatan kesakitan, malah seperti sedang kebingungan. Melupakan bagaimana menyebalkan sikapnya dulu, aku menjadi kasihan melihatnya seperti itu.
Kusentuh bahunya. Ya, ampun, aku baru sadar, jariku menyentuh tulang. Sofia begitu kurus dari balik baju rumah sakitnya yang kedodoran. Rambutnya berantakan. Tanpa make up tebal, dia benar-benar seperti oRang aneh. Kutelan ludahku yang terasa pahit.
Sof…,” kupanggil namanya.
Sofia memandangiku seperti sedang mencari sesuatu pada diriku. Aku sampai merinding karena ngeri dipandangi serupa itu. Aku berharap ia memberikan satu dua patah kata sebagai respons. Tetapi, aku harus kecewa. Sofia tidak menghiraukanku. Ia tidak mengenaliku.
Sof… ini aku, Rania. Ingat? Katakan sesuatu....“
Sofia menggeleng lemah.
“Cermin… mana cermin… aku ingin pulang. Mana cermin… cermin… aku mau pulang….” Itu saja yang diucapkannya terus-menerus sampai suaRanya kemudian makin lama makin lemah. Kepalanya terkulai ke kiri. Ia tidur.
Aku menghela napas dalam-dalam. Dokter Astria memeriksa denyut nadi Sofia, lalu dadanya. Kemudian ia mengatakan sesuatu pada perawat yang mencatat dengan cepat di sebelahnya. Dokter Astria menoleh padaku.
“Ayo, kutunjukkan sesuatu yang menarik padamu!“ Ia memintaku untuk
mendekat ke arahnya. Perawat tadi menggeserkan tubuhnya, memberikanku tempat di sisi Dokter Astria yang kini mengangkat dagu Sofia ke atas. Kami bias melihat lehernya sekarang.
“Perhatikan keadaanya sekarang
Aku tidak pernah memperhatikannya karena Sofia selalu menyembunyikan apapun dariku. Dia begitu tertutup dengan semua cerita hidupnya. Yah, cerita yang menimbulkan banyak penafsiran.
Dokter Astria kemudian memiringkan wajah Sofia ke sisi kiri, menyibakkan
rambutnya memeriksa keadaan Sofia yang semakin buruk.
Aku mencoba mencerna dari apa yang kusaksikan sekarang. Itulah mengapa dia selalu terdiam menutupi keadaannya. Jika Sofia sedikit bercerita, maka ia tidak mau menyinggung tentang kehidupannya. Oh, pantas saja.
Dokter Astria mengajakku keluar dari ruang perawatan Sofia.
“Saya hanya ingin memberitahumu satu hal, Pak Ran.“ Dokter itu menatapku.
Dia mengatakan kalau keadaannya sudah kronis dan mungkin nyawanya sulit untuk ditolong. Bila dia bertahanpun pasti akan lumpuh seumur hidup. Aku tahu ini buruk, tapi tidak pernah membayangkan separah ini. Aku terhuyung ke samping dengan pandangan berkunang-kunang. Dokter itu menangkap tanganku dengan cepat.
“Kau baik-baik saja?“ tanyanya.
Setelah semuanya menjadi terang kembali, aku mengangguk sambil melepaskan cekalannya. Aku hanya belum makan, sejak semalam aku begadang dan sampai sekarang belum beristirahat sama sekali. Ditambah dengan kejutan demi kejutan yang membuat semangatku makin merosot saja.
“Saya baik-baik saja, Dok. Terima kasih. Maaf, saya harus bergegas untuk
menyelesaikan banyak masalah.“ Kedengarannya sombong sekali, tapi aku memang harus segera pergi dari tempat ini.
Aku meminta Pak Handi mengantarku pulang ke rumah. Aku harus segera melakukan scan tiga salinan ijazah dan foto lama yang disimpan Sofia di bawah tasnya, dan mengirimkan kepada Ardi. Sambil menunggu proses scanning, aku menyempatkan makan risoles ayam dan minum teh manis. Pak Handi duduk di teras ditemani Mbok Nah sambil minum kopi.
Dalam hati aku sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Pak Anton bisa meloloskan sekretaris dengan ijazah fiktif seperti mereka? Apa yang membuat mereka demikian istimewa hingga memperoleh perlakuan khusus?
Tinggal di apartemen mewah, gaji besar, kerja asal-asalan dan mengorbankan rekan-rekannya selama belasan tahun! Hebat sekali!
Aku baru akan menelepon ketika Ardi menghubungiku. E-mail-ku sudah sampai.


FOTO DAN IJAZAH ITU

Alhamdulillah, aku bersyukur sekali dengan kemajuan teknologi wireles yang dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja tanpa terikat kabel.
Ardi berpesan agar aku jangan pergi dulu dari rumah karena ia berada dalam perjalanan menuju rumah Bu Hilna. Aku melihat jam, sudah hampir pukul satu. Pas waktunya makan siang. Sekitar lima belas menit kemudian, ada SMS Ardi yang memintaku menghubungi sebuah nomor telepon rumah di Yogya. Kubawa laptop, berkas-berkas Sofia dan catatanku ke ruang tengah. Adrenalinku mulai naik. Ini pasti akan sangat menarik. Kutekan nomor sesuai yang di-SMS Ardi padaku. Ia langsung menyambar telepon begitu nada kedua masuk.
“Ran, ini Bu Hilna, kau bicara sendiri padanya sementara aku akan membuka file-nya.”
“Thanks sekali, Ar.”
Perutku terasa kaku sekarang menunggu perpindahan dari Ardi ke Bu Hilna. Sesaat kemudian kudengar sebuah suara lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu Hilna? Saya Ran...,“ aku memperkenalkan diri.
Sepatah dua patah kata basa-basi mengawali percakapan yang segera mengalir
di antara kami. Beberapa saat kemudian, aku merasa dipaku pada sofa yang kududuki setelah mendengar informasi mengangetkan yang diberikan oleh Bu Hilna. Ia mengatakan seperti yang diceritakan Ardi beberapa jam sebelumnya. Saat aku minta ia menunjukkan nama-nama dalam foto yang kukirimkan ke Ardi lewat e-mail, dengan lancar ia menyebutkan nama kesepuluh gadis yang berpose di sana. Aku mengikutinya dengan memberi tanda pada foto yang kupegang dengan pensil. Nama-nama yang kukenal: Lisa Subyastuti dan dan beberapa mahasiswa disana berada di sana sebagai dua orang gadis yang sedang duduk sambil merangkul satu sama lain adalah palsu. Itu editan Photoshop. Karena dia sama sekali tidak mengenal Lisa dan Vera. Bahkan dia bisa menunjukan foto ali yang belum diedit.
“Keterangan itu membuatku meradang. Gadis berkacamata yang tampak lugu dan sederhana sedang duduk paling kiri pada foto di warung lesehan gudeg itu. Aku jadi makin puyeng.
“Apakah Ibu yakin?”
Saya yakin sekali.” Jawabannya membuatku terbelalak.
“Kalau Vera?” kejarku kemudian.
“Vera dan Lisa menurut aku dan Ardi adalah orang yang sama. Dia hanya ganti penampilan. Lihat baik-baik fotonya
Makin lama makin aneh, tapi terus terang menjadi menarik sekali.
“Bagaimana dengan Lisa, Bu?“
Bu Hilna tertawa, kedengarannya tidak enak di telinga.
Bapak ini aneh orangnya. Bapak tidak mudah puas dengan jawabanku.“
Aku merasakan peningkatan adrenalin dalam tubuhku.
“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui dari mana kira-kira Lisa mendapatkan foto untuk di edit dan ijasah palsu itu?”
“Wah, saya tidak tahu, Pak..”
“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, mungkin diantara teman ibu yang mempunyai foto itu?”
“Saya sudah tidak ada komunikasi. Kecuali dengan Selva, tapi dia tidak punya foto itu
Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih pada Bu Hilna. Suara Ardi kembali berada di ujung telepon.
“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan sekarang?”
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ar. Sungguh-sungguh membantu.“
Ardi tertawa di ujung sana.
“Kau utang padaku, bebek goring Rica-rica.”
“Anything, Bos. Anything,” kukutip kata-katanya dulu.
Aku menjadi lemas. Punggungku terasa basah oleh keringat, dan kedua tungkai kakiku gemetaran. Kuperhatikan dengan seksama wajah lima gadis yang ada di dalam foto itu. Satu di antaranya sudah pasti menjadi sekretaris perusahaan ini. Tapi, bagaimana Lisa bisa melamar pada posisi itu dengan menggunakan ijazah palsu? Siapa yang tidak jujur di sini? Tadinya aku ingin membuka semuanya dari dengan Sofia.Tetapi, jelas tidak mungkin, karena dia akn diam seribu bahasa dan menutupnya rapat-rapat, sedangkan sekarang mulai pikun! Seandainya aku bisa menemukan bukti. Tetapi, semua itu tidak mudah.
Aku mencoba mengurut melalui billing statement dari kartu kredit yang digunakan oleh Sofia. Billing statement itu keluaran Setahun lalu. Dari beberapa Rumah Sakit di Bandung.. Transaksi yang dikeluarkan juga cukup besar, hampir Rp 25 juta. Per transaksi.
Aku mencoba mendapatkan file dari rumah sakit itu. Mungkin ini bisa menjadi titik terang keadaan Sofia pikirku. Setelah no telepon Rumah Sakit itu, aku segera menelepon melalui ponsel Sofia dengan harapan aku tidak akan ditolak saat aku menanyakan beberapa hal. Seorang pasien rutin seperti Sofia pasti sudah diketahui Rumah Sakit.
“Selamat siang, Pak? Ada yang bisa dibantu....“ Seperti dugaanku, mungkin ini bisa menjawabnya..
“Siang juga, Mbak... ini dengan kakaknya Sofia?“
Ada yang bisa dibantu “
Sebenarnya pasien yang bernama Sofia usia 27 tahun dari Ciamis, sakit apa?“
Adik anda terkena penyakit jantung dan paru-paru kronis dan ada kemungkin syaraf pada otaknya. Ada juga dugaan terkena kangker otak
“ terimakasih atas informasinya. Selamat siang “ Ucapku sambil kemudian menutup panggilan itu.. Aku yang berlagak menjadi kakak Sofia yang ternyata mampu membuka keadaan Sofia sebenarnya sehingga tingkahnya selama ini begitu aneh. Aku jadi kasihan melihat keadaannya. Sofia adalah seorang yang sedang sakit parah, sehingga harus dilayani dengan baik. Jadi, aku mendapat nomor Dokter Arman Siwabessy tentang bagaimana menyembuhkan penyakit yang diderita Sofia.. Aku juga menanyakan cara terkini tentang jalan keluarnya.
“Banyak, sih. Di Singapura dan Australia bisa dengan cara aman “ kata Dokter Arman di rumahnya.
“Oh, gitu....Dok, Dokter tahu nggak kalau pengobatan ke Singapura sampai berapa biayanya?“ iseng-iseng aku bertanya.
“Tergantung tindakannya, sih. Sekitar Rp150juta – Rp300 jutaan, Pak.“
Wow! Luar biasa! aku meminta nomor telepon dan alamat yang disebutkan dan segera pamit padanya setelah selesai. Rasanya sekarang makin menyesakkan dada.
Aku kembali kerumah, bukannya ke kantor. Aku masih bingung dengan permasalahan ini. Sepertinya aku mulai tahu ke mana arah permasalahan ini akan menuju. Tentang sekretaris dan penyakit Sofia.
Ada seseorang yang menggunakan nama dua orang sebagai alumnus AECOM untuk kepentingan pribadinya. Ini berarti mempersempit penyelidikan lebih jauh. Ada seseorang yang bersembunyi membantu Lisa dan Vera atau Sofia saat ini. Dan aku yakin, seseorang itu ada hubungannya dengan SMS tentang paket TO. Tetapi, untuk apa dan mengapa? Mbok Nah tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia menanyakan apakah aku balik ke kantor atau tidak. Aku baru sadar, hari sudah hampir pukul tiga sore ketika kudengar azan salat Ashar. Aku segera salat, setelah itu kembali ke kantor bersama Pak Handi. Lelaki itu sama sekali tidak menanyakan mengapa aku berlama-lama di rumah. Mungkin ia sudah diinstruksikan demikian. Di jalan aku menelepon Dokter Astria, barangkali ia mengetahui informasi mengenai Dokter Arman Siwabessy. Ia mengatakan, dokter itu adalah seorang dokter umum lulusan Akademi kedokteran di Los Angeles, Amerika Serikat,. Dokter Arman adalah ahli penyakit dalam di rumah sakit umum di Ciamis sejak 20 tahun lalu.
“Jadi, dia seoang tahu tentang penyakit paru-paru dan jantung, Dok?“ tegasku.
“ Dokter Arman Siwabessy adalah teman satu angkatan kakakku.“
“Oh, begitu, ya, Dok?“
“Ada apa, Ran? Tampaknya Dokter sedang sibuk?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Terima kasih atas informasinya.”
Aku terdiam, berusaha merangkai semua jawaban yang kuperoleh hari ini. Aku merasa mulai dekat kepada jawabannya.
Pak Ran nggak apa-apa?” Pak Handi melirikku dari spion.
“Oh, saya baik-baik saja. Memang kenapa, Pak?”
“Hmm... Bapak pucat sekali. Apa tadi belum makan?”
Aku tertawa tidak menanggapi perhatiannya.
Pak Ran jadi repot, ya, mengurusi Mbak Sofia.”
“Ini setengah terpaksa, setengah dipaksa,” aku bergurau menjawabnya.
Pak Handi tertawa. Aku ingat sesuatu.
Yang mengherankan menurut Pak Handi adalah Sofia begitu baik padanya. Sangat aneh bagi seseorang yang baru menginjakkan kakinya di Ciamis saat itu.
DIBALIK KEMATIANNYA


Jawaban dari sebuah misteri itu makin meyakinkan aku pada sesuatu yang aku takutkan. Sebenarnya, aku sudah mulai bisa menduga apa yang dilakukannya Sofia, Vera dan Lisa
“Mengenai Tere, saya dengar dia ditabrak mobil ya, Pak. Handi tahu
“Wah, itu mengerikan sekali, Pak. Mbak Tere itu, biarpun orang kaya, ia sangat merakyat. Kalau makan siang, kami biasa makan di kaki lima depan kantor. Eh, nggak tahu kenapa hari itu dia apes sekali.“ Pak Handi kelihatan menyesal saat menceritakan kejadian beberapa tahun lalu.
Menurutnya, siang itu Tere tidak pergi bersama-sama yang lainnya saat makan siang. Ia harus menerima telepon penting dari seseoRang. Saat ia menyusul lima belas menit kemudian, sebuah mobil Mini bak terbuka dengan kecepatan tinggi menabraknya persis di depan warung tempat mereka makan. Tere terpental sampai masuk ke dalam got air, punggungnya patah dan kepalanya retak. Mini bak terbuka itu langsung kabur begitu saja.
“Kasihan Mbak Tere, sekarang menjadi cacat dan nggak mau ketemu kami lagi. Mungkin ia merasa marah.“
“Saya bisa mengerti. Kata Bu Marta, Afisya dan Tere adalah sekretaris yang hebat,“ kupancing ia dengan nama Afisya.
“Bukan hanya hebat, Mbak, tapi juga baik hati. Apalagi Mbak Afisya. Dia itu dermawan dan ringan tangan. Dia sering liburan ke luar kota. Kalau pulang, kami semua diberi hadiah. Para pesuruh kantor senang padanya, karena sering diberi tip. Apalagi kalau dia lembur sampai malam-malam.“
Pak Handi menggelengkan kepala dan menghela napasnya dalam-dalam.
“Karena lembur itu juga, kami terlambat menyelamatkan nyawanya.“
Afisya saat itu bekerja keras menyelesaikan laporan akhir bulan karena Pak Anton sedang ke Singapura untuk menemani istrinya yang menjalani operasi pengangkatan rahim. Petugas keamanan malam itu merasa curiga karena sampai pukul sepuluh malam Afisya belum juga keluar dari kantor, padahal lampu ruangannya sudah padam. Dua orang petugas keamanan kemudian berkeliling untuk memastikan keberadaannya. Saat tiba di parkir basement, mereka menemukan mesin mobil Afisya masih menyala. Saat mereka melongok lewat kaca jendela, mereka terperanjat. Afisya terkulai di kursinya masih dengan mengenakan sabuk pengaman. Kedua petugas keamanan itu memecahkan kaca untuk
mengeluarkan Afisya dari dalam mobil. Bau gas karbon monoksida begitu
menyengat. Afisya sudah demikian lemas. Ia meninggal dalam perjalanan
menuju rumah sakit.
Aku terdiam lama mendengar tragedi malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh kantor ini. Pak Handi juga tidak berkata apaapa lagi sampai kami tiba di kantor.
“Capek, ya, Ran?“ Bu Marta menoleh ke arahku saat aku masuk.
Aku tersenyum. Serius, capek sekali badanku. Kuletakkan Ranselku di atas
meja. Ada selembar post it warna merah yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Hardi, aku diminta datang ke apartemen sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.
Aku minta izin Bu Marta untuk pulang lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Rino tidak berada di tempat karena sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Cibodas Indah. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Hardi padaku kali ini. Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi padaku.
Sesungguhnya memang, keyakinanku menjadi kenyataan. Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku. Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Sofia sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuRan folio padaku. Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Sofia. Dan pengirimnya adalah Nadia Utami, Ciamis. Aku meragukan itu nama sebanarnya pengirim. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?
“Barangkali Ibu memerlukan,“ kembali kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki itu.
Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan foto  yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Rino Harjo Pra Anton. Tetapi,yang lebih mengejutkan lagi adalah baik pada salinan akta kelahiRan maupun
pada amplop itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo PraAnton dan
Lisa Subyastuti!
Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikranku menjadi teRang sekarang. Aku telah menemukan orang yang  kucari selama ini. Sosok yang bersembunyi di balik wajah Sofia saat ini juga kemungkinan besar dekat dengan Lisa. Sesungguhnya, mereka adalah ibu dan anak. Lisa. Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka anak kandung pak Anton, ayah angkatku yang pernah tercampak puluhan tahun yang lalu. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba, maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Sofia adanya, dan hanya Pak Anton saja yang mengetahui rahasianya.
Taksi itu kuminta memutar balik ke rumah sakit. Aku ingat pada foto lama
Stasiun Yogya yang tergantung di ruang kerja Pak Anton, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang ditunjukkannya.


ANAK YANG TERBUANG


Pesan yang harus diingat dengan baik oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Anton.
Kembali ke rumah sakit, aku menemukan kenyataan bahwa Sofia atau siapa pun ia telah dipindahkan ke sal perawatan mental. Sebab, jika ia dijadikan satu area dengan orang-orang sakit pada umumnya, dikhawatirkan tingkahnya akan mengganggu ketenangan yang lain. Dan, di ruang perawatan mental, tidak boleh sembaRang oRang mengunjunginya. Aku mengirim SMS kepada Rino dan Bu Marta mengenai perubahan status perawatan itu.
Aku hanya bisa memperhatikan wanita itu dari balik kaca. Kembali aku merunut kisah ke belakang dan mulai mereka-reka kejadian yang mungkin telah terjadi di masa lampau berdasarkan bukti yang kumiliki saat ini.
Bahwa Lisa, terdorong oleh rasa cintanya yang telah membutakan mata hatinya, rela melakukan apa saja demi mendapatkan Pak Anton. Padahal, lelaki yang sempat beberapa minggu mampir di Yogya untuk sekadar iseng itu tak pernah serius menanggapinya. Tapi, tidak bagi Lisa. Ia demikian serius dengan cintanya hingga rela menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat pada lelaki itu. Ia mengandung, melahirkan, dan menanggung malu yang amat sangat.
Kenekatannya membawanya ke Ciamis, menyusul Pak Anton setahun kemudian. Betapa hancur rasa hatinya melihat lelaki yang dicintainya ternyata telah menikah dengan seorang perempuan berdarah ningrat, kaya raya, dan sakit-sakitan. Lisa kemudian menyusun rencana agar dirinya dan anak Perempuannya yang sebenarnya anak kandung  Pak Anton bisa masuk ke dalam kehidupan Pak Anton. Ia mulai mengancam melalui istri lelaki itu, akan membongkar semua rahasia mereka tanpa ampun.
Pak Anton, sekalipun seorang lelaki berkategori playboy, sangat mencintai
istrinya. Ia tidak mau kehilangan wanita yang mampu memahami jiwa
petualangnya itu. Maka, sejak Lisa muncul dengan segala ancamannya, ia
bersedia mengikuti permainan wanita itu. Ia menurut untuk mengambil bayi yang seolah-olah berada di panti asuhan itu. Kemudian ia memberinya nama Rino dan mengangkatnya sebagai anak. Di luar dugaannya, ternyata kelak Rino akan menjadi penghibur dan anak kesayangan bagi istrinya yang sakitsakitan itu.
Setelah kehidupan anaknya terjamin, Lisa menuntut jaminan tempat
tinggal yang nyaman dan pribadi sifatnya. Pak Anton menuruti. Ia menempatkan Lisa di Apartemen Cibodas Indahe miliknya sendiri.
Lisa berupaya masuk makin jauh dalam kehidupan Pak Anton dengan
menjadi sekretaris pribadinya. Dengan segala cara dan upaya ia selalu berusaha menjerat Pak Anton agar kembali ke dalam pelukannya. Namun, makin ia berusaha, lelaki itu makin menjauhinya dengan cara menjalin cinta di sanasini bersama beberapa wanita lain yang lebih muda darinya.
Lisa menyadari bahwa ia tidak bisa bertempur melawan umur. Maka, satusatunya cara agar bisa membawa kembali Pak Anton padanya adalah ia harus mengubah total penampilannya. Ia harus menjadi oRang yang berbeda sehingga mendapat penilaian yang berbeda pula. Maka, nafsu yang telah membutakan mata hatinya menuntun Lisa menemukan oRang-oRang seperti Heriandi, yang mampu mengubah identitasmya menjadi oRang lain, dan juga (mungkin) Dokter Arman Siwabessy yang sanggup mengubah wajahnya.
Dalam beberapa waktu lamanya Lisa menghilang dari kehidupan Pak Anton. Mengubah wajah dan penampilan, mengganti identitas diri dan selanjutnya menjadi Vera. Ia kemudian masuk kembali ke perusahaan dalam sosok yang berbeda. Lisa menekan Pak Anton untuk menerima dirinya sebagai Vera, untuk menjadikan sekretaris baru menggantikan Tere. Semula Pak Anton menolaknya. Ia sudah cocok memiliki sekretaris seterampil dan seahli Tere dalam mengelola pekerjaan. Tere sangat membantunya. Lisa terus menekannya melalui telepon, tapi Pak Anton tidak menggubris. Sebenarnya,
lelaki itu bersyukur telah terbebas dari Lisa selama beberapa waktu. Ia tetap mempekerjakan Tere sampai terjadi kecelakaan yang mengerikan di
depan kantor.
Lisa mengulang kesuksesannya memasuki kehidupan Pak Anton kembali.
Namun, ia harus menelan kenyataan pahit bahwa lelaki itu memang tidak
pernah menerima perubahannya, sekalipun ia sudah berusaha kuat. Pak Anton selalu berhubungan dengan orang lain, bukan dengan dirinya. Seberat apa pun selama bertahun-tahun menjadi Vera, Pak Anton tidak pernah menanggapinya lebih dari sekadar Sekretaris  biasa.
Begitu besar keinginan untuk merebut hati lelaki itu, sampai-sampai ia tidak memperhatikan bagaimana anaknya telah dirawat dengan baik oleh istri Pak Anton yang sungguh-sungguh menyayanginya. Anak laki-laki kembaran Sofia yang ia letakkan didepan pintu rumanya ketika masih bayi. Anak bukan lagi menjadi prioritasnya. Satu-satunya keinginan Lisa adalah dinikahi oleh lelaki itu.
Sekali lagi, ia menjerat Pak Anton, kalau dia tidak mau menikahinya ,maka anak kandungnya sendiri Sofia akan ia bunuh. Kali ini ancamannya membuat Pak Anton luluh dan menikahinya secara diam-diam.


DEMI HATINYA

Manusia telah buta oleh sebuah nafsu yang membiusnya dengan kuat. Manusia memang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan segalanya.
Lisa belajar meningkatkan kemampuannya untuk dapat meraih kepercayaan Pak Anton atas dirinya. Ia belajar banyak hal. Meninggalkan kemahiRan mengetik steno yang dimilikinya, lalu mulai belajar komputer, juga memperdalam pengetahuan tentang hukum perdagangan.
Tetapi, Pak Anton telanjur menyayangi Afisya. Lisa dibuat cemburu hebat
oleh kedekatan lelaki yang dikasihinya itu dengan wanita workaholic bernama Afisya. Di matanya, ambisi Afisya sungguh kelewatan. Ia mampu bekerja dua belas jam sehari. Keandalannya membanggakan, karena ia mampu menangani masalah administratif dan manajemen. Terlebih pada masa itu, istri Pak Anton berada dalam kondisi paling kritis dalam hidupnya sehingga membutuhkan perawatan intensif di Singapura. Di situlah peRanan Afisya sangat menonjol.
Lisa tidak membiarkan kehebatan itu berlangsung lama. Melalui bantuan Heriandi, ia berhasil kembali ke dalam posisinya sebagai sekretaris setelah Afisya meninggal dunia akibat keracunan gas karbon monoksida yang memenuhi mobilnya. Sekali lagi, ia berhasil.
Tetapi, kesuksesannya kali ini membuat Pak Anton makin membencinya. Lelaki itu bahkan menunjuk Bu Marta untuk merangkap beberapa tugasnya yang makin dibatasi. Lisa diperlakukan sebagai boneka di kantornya dan tidak diberi kepercayaan oleh lelaki itu. Pak Anton bahkan menyebutnya sakit dan menyarankannya untuk segera mengonsultasikan dirinya ke seorang ahli jiwa.


SAKIT, DIA SAKIT


Kepanikan yang menrpa hidupnya membuatnya semakin tidak menentu. Lisa begitu marah disebut sakit. Bertahun-tahun ia berjuang memperoleh
kebahagiaannya bersama lelaki itu, tetapi tidak berhasil digapainya. Yang ia terima selama itu hanyalah perubahan drastis pada penampilan luarnya saja  sampai beberapa  kali mengganti nama. Selain itu, tidak ada.
Apartemen yang ia huni saat itu pun adalah milik Pak Anton yang hanya boleh ia tempati selama ia bekerja padanya. Dan, itu bisa saja berakhir setiap saat, terutama setelah lelaki itu meninggal dunia.
Lisa mendapatkan kenyataan pahit selain kematian lelaki yang tidak pernah memberinya cinta dan kasih sayang, kecuali seorang anak yang tidak pernah mengenalinya.
Ternyata, tubuhnya pun mulai lelah melawan waktu. Bertambahnya umur membuatnya tidak mampu menahan lajunya hukum alam yang memaksanya dirinya untuk introspeksi diri. Namun dasar hatinya telah dipenuhi oleh ambisi dan nafsu dunia, semuanya menjadi gelap , yang ada hanya memburu kepuasan saja. Ia menderita penyakit jantung dan paru-paru. Maklum saja kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan penghisap nikotin. Penyakit itu membuatnya bekerja ekstra keras agar penampilannya tetap seperti wanita yang berusia awal empat puluhan puluhan. Amatlah sulit menjaga diri dari diet dan obat-obatan agar penampilannya terjaga. Akhirnya situasi yang mengerikan itu muncul juga. Ketatnya diet membuat penampilannya berantakan. Lisa dipaksa mengganti blus-blus seksinya dengan blus turtle neck agar lehernya yang mengendur bisa tertutup. Ia juga mengecilkan rok dan celananya yang makin lama makin longgar.
Lisa terpaksa menerapkan make up tebal untuk menyiasati wajahnya yang berubah karena tubuhnya makin kurus karena penyakitan.  Penyakitnya telah menjadi momok yang memaksanya untuk sering bercermin dan mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit jantung dan paru-parunya. Ia berharap akan ada kesembuhan dan perubahan dalam dirinya yang bisa membuatnya bahagia. Tetapi, makin lama makin ia sadar bahwa hidupnya menuju kehancuran. Dengan penyakit yang sekarang sedang bersarang manis di tubuhnya, masa depannya bisa berakhir dengan singkat. Maka, ia meminta bantuan Heriandi sekali lagi untuk membuatkan akta kelahiran palsu dan bekerjasama dengan pengacara. Tujuannya jelas, ia akan memaksa Rino anak angkat Pak Anton yang sekarang menjabat sebagai bosnya Sofia memberikan warisan ayahnya kepada Sofia untuk menjamin kehidupan anak hasil hubungan gelap dengan pak Anton. Tetapi sayang, di saat rencana itu baru dijalankan, Rino ternyata membuat rencana lain terhadap perusahaan. Demi efisiensi dan efektivitas, maka ia telah menggabungkan perusahaan ayahnya dan dirinya berada dalam satu atap di bawah kendalinya.


SELAMAT JALAN, LISA


Rino adalah sosok pemimpin yang mampu membawa kebaikan pada perusahaan. Sifat dan gaya kepemimpinan yang cepat, tegas, dan keras membuat Lisa pontang-panting. Pertama, karena sejak awal ia tidak terbiasa dengan tugas-tugas berat. Kedua, kondisi fisiknya mulai menurun. Pada akhirnya penyakit jantung dan paru-parunya mengantarkan dia pergi untuk selama-lamanya meninggalkan ambisi yang belum  ia tuntaskan. Tubuh yang selama hidupnya dipenuhi dengan kemunafikan kini pergi bersama keputus asaan. Cerita yang akan dikenang tanpa sebuah makna, bias tak berbekas.
Sofia terpukul oleh keadaan itu. Namun sekarang dia duduk sebagai pengganti ibunya sebagai sekretaris atas rekomendasi Bu Marta, yang tahu tentang hubungan darah antara Sofia dan Pak Anton. Wlaupun wanita itu sama sekali tak pantas menjadi sekretaris namun dia tetap di posisikan di perusahaan itu sebagai sekretaris. Sekretaris yang menjegkelkan semua orang. Namun kecantikannya juga telah memperdayaku dan Rino untuk mengubahnya menjadi wanita modis dan dijadikan sebagai kekasih hatiku. Ia bagaikan seekor siput dalam dunia hewan berkaki dan bersayap yang dapat bergerak dengan lepas dan bebas atau seperti elang terbang dengan sejuta ambisi mencari mangsa untuk kebutuhan perutnya. Ia begitu sombong, sayang dia bukan elang tetapi siput yang tak bertenaga dan tidak bisa diandalkan. Dalam beberapa hal ia menjadi begitu menyebalkan dan dicap sebagai trouble maker. Tetapi, ia bertahan untuk tetap berada dalam posisi itu sampai Heriandi dapat membawakan surat-surat yang akan menyelamatkan hidupnya dari kehancuRan. Malang baginya, tekanan yang diberikan Rino dengan gaya kepemimpinannya itu membuatnya terpuruk dalam waktu singkat. Ia mulai kehabisan napas, tidak memiliki ruang gerak, miskin ide dan kehilangan harga diri di mata anaknya yang tidak pernah mengenalinya itu. Ketegasan sikap anak muda itu dengan memberikan satu demi satu tekanan kepada Sofia untuk berubah dan memperbaiki diri. Begitu tertekannya, sampai ia sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan, suatu ketika malah menjadi blank sama sekali.
Sofia linglung. Ia mendadak kehilangan kemampuan mengenali apa pun,
siapa pun, dan apa yang sedang dihadapinya. Sesaat setelah ia bisa kembali sadar, ia menjadi khawatir akan kondisinya itu. Segera ia mencari dokter untuk membantu masalah yang dihadapinya. Ia kemudian menjalani sejumlah tes untuk memastikan kondisi tubuhnya. Beberapa waktu kemudian ia menerima vonis yang begitu menakutkan.
Dokter spesialis saraf itu menjelaskan kondisi kepalanya. Beberapa hal tentang bagian-bagian otaknya yang mulai mengecil, juga simpul-simpul saraf yang menyusut. Kondisi ini juga membuat Bu Marta sangat menyayanginya, karena dia adalah satu-satunya anak pak Anton. Semuanya berujung pada satu hal: Alzheimer dementia alias pikun.
Dokter itu merasa tertarik padanya karena Sofia mencatatkan usianya 27 tahun. Namun keadaan dirinya sudah separah itu. Dokter itu menyarankan agar dirinya rajin melakukan kontrol untuk memulihkan kesehatannya dengan segera. Tetapi, Sofia tidak pernah kembali kepada dokter itu. Ia mengendalikan penyakitnya dengan terus minum obat yang dibelinya melalui pasar gelap. Ia mencemaskan keadaan akan makin memburuk, jika makin banyak orang tahu akan penyakitnya. Bu Marta yang selama ini begitu menyayangi wanita itupun tidak tahu dengan kondisi Sofia yang sebenarnya.
Apa yang ditakutkannya itu terjadi. Siapa pun tidak akan pernah melupakan kejadian siang itu saat Rino menjatuhkan vonis atas Sofia. Padahal Bu Marta sudah mewanti-wanti Rino dan Aku untuk menjaga Sofia baik-baik tanpa memberitahu apa alasannya, yang jelas kami menghormati Bu Marta seperti Ibu kandung sendiri. Namun kenyataan penolakan cinta dan usaha Rino untuk mengubah Sofia selalu berbuah dengan kegagalan dan penolakan, membuat kesabarannya telah mencapai ujungnya. “ini adalah Yang terbaik “ pikir kak Rino.

HAKEKAT

Mentari menunjukan sebuah tanda keindahan alam yang seharusnya membuat kita semakin bersyukur dan dekan dengan penciptanya. Kenyataannya semua itu telah membuat kita semakin jatuh dalam Ranah yang mengerikan mengejar sebuah harga diri atas dasar kemewahan dunia. Ini adalah sebuah kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan.
Kuusap wajahku dan mendadak tubuhku lemas menyadari kisah yang kurangkai tadi. Saat kuluruskan punggungku, kulihat Rino berjalan cepat ke arahku. Aku harus mengatakan semua teori ini padanya.
“Kau masih di sini?“ tanyanya, biasa saja.
Aku hanya mengangguk. Rino kemudian melongok ke dalam melalui jendela yang terbuka. Ia tidak berkata apa-apa selain duduk di sisiku. Sesaat kemudian Dia menanyakan tanggal lahirnya. Dengan separuh heran ia menjawabnya: 5 Juni.
“Aku akan menunjukkan keajaiban tanggal 5 Juni padamu.“
Satu per satu berkas ijazah palsu itu kuberikan kepadanya. Foto lama Stasiun Yogya yang sama tergantung di dinding ruang kerja ayahnya dulu juga membuatnya kelihatan terkejut. Belum lagi ketika foto Lisa dan Vera kuberikan untuknya, dan terakhir yang membuatnya terdiam lama: salinan akta kelahiran atas namanya.
Keheningan menyekap kami dari segala arah beberapa saat lamanya. Aku bersandar lelah, benar-benar lelah setelah beberapa hari bekerja keras untuk mencari keluarga Sofia. Ya, aku memang berhasil menemukannya. Ternyata, ia begitu dekat denganku.
“Jadi, kaupikir... mereka ini...,“ suara Rino menggantung, kedengarannya tidak yakin dan lemah untuk seorang yang keras dan otoriter seperti dirinya. Aku mengangguk tegas. Rino tampak bimbang.
“Sama. Satu orang yang sama untuk dua masa yang berbeda.“
“Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi. Bagaimana ia bisa begitu kejam?“ ia memandangku tak mengerti.
“Untuk seorang wanita yang sudah menyerahkan segalanya dan berjuang habishabisan untuk mendapatkan cintanya.“
Kemudian aku mengulang cerita penemuanku di apartemen Sofia. Bagaimana aku mencari data pada malam itu. Lalu tentang pembicaraanku dengan Bu Hilna. Aku juga menghubungkan dengan kisah tragis dua sekretaris yang malang itu. Kupertegas dengan analisis Dokter Astria dan bukti billing statement yang menyatakan adanya tindakan ayah atas wanita itu. Dan lahirlah Sofia dari rahim Lisa, juga SMS-SMS itu.
Rino menarik napasnya dalam-dalam.
“Jika semua ini benar, apa yang diinginkannya?“ tanyanya, ragu.
“Rasa aman,“ jawabku, santai.
Ya, hanya itu yang diharapkan Vera atau Lisa. Rasa aman untuk menjamin hari tuanya. Ia sudah gagal memperoleh kebahagiaan dalam merebut  kembali Pak Anton. Sementara anak haramnya dengan Pak Anton tidak mendapat pengakuan walupun Pak Anton sendiri tidak memiliki anak. Malangnya dia mengangkat Kak Rino dan aku sebagai anaknya. Sekalipun segala cara sudah dilakukannya, ia tidak dapat meraih cinta yang dulu pernah membahagiakannya. Harga sebuah cinta sejati yang berselimut ketulusan tidak dapat dinilai dari bentuk dan keindahan fisik yang diperjuangkannya selama ini habis-habisan. Hanya ketulusan dan keihlasan yang dapat menjaga sebuah cinta menjadi indah dan abadi. Seperti yang dilakukan Pak Anton terhadap istrinya yang rapuh. Wanita yang ternyata sakit-sakitan dan rahimnya diangkat itu dijaganya sampai akhir hayatnya. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan biologisnya lelaki tua itu sering melampiaskannya kepada wanita-wanita cantik. Entah apa sebenarnya yang terjadi, yang jelas pak Anton setia menjaga isterinya itu yang merupakan anak tunggal sampai tutup usia.
Rino termenung dalam waktu yang lama. Mungkin ia sedang berpikir keras mencerna apa yang barusan kusampaikan. Berkas-berkas itu aku ambil kembali, lalu kumasukkan ke dalam ransel. Seorang perawat datang kepada kami dan mengatakan bahwa Sofia kembali gelisah. Kami bergegas masuk untuk melihat keadaannya.
Wanita itu terbaring dengan kedua tangannya terikat pada tepi ranjang.
Mungkin ditujukan agar ia tidak mencakari wajahnya lagi seperti sebelumnya.
Ia memperhatikan kami tanpa ekspresi apa pun saat melihat kami masuk.
Padahal, aku berharap ia akan berteriak histeris melihat kedatangan Rino.
Kengerian menapaki diriku melihat bilur luka yang makin merah dan bengkak.
Mungkin, karena ia menderita tekanan jiwa yang begitu kuat atas kepergian ibunya dan perlakuan Anton yang memecat dirinya, membuat wanita itu semakin terpuruk dan bingung harus bergantung pada siapa lagi di dunia ini..
Penyakit yang diderita Sofia makin lama semakin parah. Sekalipun naif, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan Sofia. Apapun dia adalah anak kandung Pak Anton, sekalipun sebagai anak haram. Kak Anton tak pantas memperlakuaknnya seperti itu. Sungguh biadab aku ini jika membiarkannya,  ucapku dalam hati.
Kematian? Apakah itu yang diinginkan Sofia? Untuk mrngskhiri semua ini. Padahal aku mulai mengerti peranku sebagai kakaknya yang harus melindunginya. Otaknya dalam menggali memori yang perlahan-lahan menghilang dari dalam benaknya, apakah ia ingin sekali saja melihat dirinya diperhatikan dan dimanja dengan segala kekurangan pada dirinya. Rino bergeming, wajahnya terlihat sayu dan kelihatan ia merasakan derita yang dialami Sofia.
Sekarang aku mengerti, aku tahu dari mana ia memperoleh sikap yang demikian tidak berperasaan. Aku begitu jahat padanya.
Sofia makin gelisah, ia meronta-ronta di atas ranjangnya sambil terus untuk dilepaskan ikatan tangannya. Rino membisu. Kuhela napasku dalam-dalam. Aku membeRanikan diri untuk menenangkannya, agar  wanita itu percaya, aku menyayanginya.
Tenangkan dirimu Sofia, aku menyayangimu?“ sapaku, hati-hati.
Sofia tersentak. Kelihatan kalau ia terkejut mendengar panggilanku. Sesaat kemudian ia menoleh perlahan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia rasa dari caranya melihat dan memandangku dengan aneh. Jantungku berdegup kencang. Bibirnya yang kering bergerak dengan sedikit gemetar.
“Kau menyayangiku,“ suaranya terbata, seperti sedang mengeja. Terdengar asing di telingaku, seperti bukan suara manusia biasa. Bola matanya berputar dengan sorot yang membuatku semakin tak mengerti oleh rasa yang mendadak datang.
Aku mengerti mengapa namaku tercantum dalam ponselnya. Itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi memang telah direncanakannya! Aku adalah orang yang akan beruntung dikasihani oleh orang baik sepertimu “ ucap wanita tak memandangku.
Belakangan ini aku sering dikejutkan oleh oleh rasa ngeri. Namun jawaban atas diri Sofia membuatku melupakan semua itu. Wanita itu mulai
tersenyum. Makin lama senyum itu makin melebar sehingga giginya kelihatan dan wajahnya makin terlihat bersemangat. Lalu ia tertawa manja. Rino menatapku dengan tajam. Seolah-olah ingin menerkamku tiba-tiba. Aku tahu kerisauan yang dirasakan olehnya denga ucapan Sofia. Sejatinya Kak Rino masih berharap. Namun aku telah merampasnya.
Rino menarik tanganku untuk segera berlalu dari situasi yang mencekam itu. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat. Aku terseok-seok mengikutinya dari belakang. Tangannya terasa dingin dan gemetar dalam genggamanku.
“ Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu menutupinya dariku “ ucap Kak Rino yang kecewa padaku.
“ Kak, aku juga tidak mengerti dengan perasaan ini. Aku menyayangi Sofia, kak “ ucapku sambil menunduk.
“ Ya sudahlah. Jaga baik-baik Sofia. Kondisinya tidak stabil “ pintanya sambil menarik tanganku masuk kembali ke kamar perawatan Sofia.


AKHIRNYA, TERJAWAB


Waktu yang telah memberikan sebuah jawaban. Akhirnya Sofia didiagnosa menderita kangker otak. Dia lumpuh dan hanya terbaring dia atas ranjangnya. Sesuai janjiku yang akan menjaga Sofia, aku menikahinya dan akan selalu menjaganya dengan kasih sayang.
Perusahaan hasil kerja ayah kandungnya Pak Anton yang telah dibesarkan oleh kak Rino pucuk kepemimpinan diberikan kepadaku. Dengan begitu beratnya aku menerima. Sementara kan Rino pergi ke Paris untuk menyelesaikan study S-2 manajeman. Dia meninggalkan sebuah harapan atasku untuk menjaga Sofia dan perusaan dengan baik. Untung selama ini aku selalu setia mendampingi kak Rino dalam menguruskan perusahaan ini, sehingga aku tidak terlalu kesulitan melanjutkan kerja Kak Rino sebagai pimpinan.
Malam yang menyesakkan buatku. Sofia pergi dengan sejuta mimpinya untuk mendapatkan seorang anak dariku. Sang pencipta tanpa pemberitahuan dan begitu tiba-tiba mengambil ruh dari tubuh yang terlihat seluruh tulangnya hanya terbungkus kulit saja. Keadaan yang meprihatinkan untukku, sementara aku tak ada disisinya ketika sakaratul maut menjemput. Aku sedang melakukan presentasi dengan klien di Bali.
Aku merelakan kepergiannya dengan sebuah do’a untuknya. Semoga yang kuasa mengampuni segala dosanya dan menempatkan dirinya di tempat yang mulia disisinya.
Kesepian mencekam setiap malamku. Kepergiannya telah membuat aku merindukan kehangatan seorang wanita menemani hari-hariku. Aku berusaha untuk setia kepada Sofia, namun semuanya tidak seperti yang kukira. Setahun setelah kepergiannya, aku menikah lagi. Dari pernikahan ini aku dikarunia dua orang anak perempuan.
Kak Rino Menikah dengan gadis dari Medan. Dia wanita kenalannya yang bertemu di pesawat saat pulang dari Amerika. Dari pertemuan itu menjadi dekat hingga empat bulan kemudian menikah. Kak Rino dikarunia seorang anak laki-laki.
Kak Rino meninggal dunia akibat kecelakaan mobil tiga bulan yang lalu. Setelah dia meninggal aku mendapati sebuah kebenaran. Rino dan Sofia adalah anak Lisa atau Vera. Bayi yang ditinggalkan Lisa didepan rumah Pak Anton, yang kemudian diangkat menjadi anaknya.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar